Cerita Istimewa " Bukti Positif "

Suara itu terdengar lelah, namun masih belum berhenti berbicara. Sang pembicara nampak mengerahkan seluruh tenaga untuk menopang durasi pidato. Orang itu sakit, pikir Kolonel Crashaw dengan rasa iba sekaligus kesal. Di masa mudanya, Kolonel Crashaw pernah mendaki PegununganHimalaya, dan dia ingat momen ketika ia nyaris menggapai puncak gunung—betapa setiap langkah yang diambilnya membuat napasnya tersengal. Platform setinggi satu setengah meter di ruangan itu membuat sang pembicara mengusung napas berat yang sama. Seharusnya dia tidak keluar rumah hari ini, pikir Kolone Crashaw, sambil menuangkan segelas air putih dan menggesernya di atas meja, ke hadapan sang pembicara. Ruangan itu tidak dilengkapi dengan pemanas yang memadai, sementara kabut musim dingin yang diembus oleh senja di luar terlihat merayap masuk melalui celah-celah jendela yang retak. Tidak dapat dipungkiri lagi: sang pembicara sudah tak lagi menarik bagi audiens yang hadir. Di seisi ruangan, hilangnya koneksi antara pembicara dan para pendengar tampak begitu nyata—sejumlah wanita lanjut usia bahkan tak sungkan menutupi reaksi kebosanannya, sementara beberapa pria yang terlihat seperti mantan tentara juga hanya pura-pura menyimak pidato panjang itu.
Kolonel Crashaw, berlaku sebagai presiden Grup Fisik, menerima surat dari sang pembicara sekitar seminggu yang lalu. Ditulis tangan, surat itu menyatakan permohonan agar pertemuan khusus bagi anggota grup segera dilangsungkan. Dari tulisan tangan itu, Kolonel Crashaw sudah bisa menyimpulkan bahwa orang yang menulisnya berada dalam kondisi tak sehat, mabuk atau sangat uzur. Sang pembicara baru saja mengalami hal yang luar biasa dan ia tak sabar untuk membahasnya dengan semua anggota Grup Fisik—meski pengalaman itu sendiri tidak dijelaskan secara detail. Kolonel Crashaw biasanya ragu menanggapi permohonan seperti itu; namun surat tersebut ditulis langsung oleh Mayor Philip Weaver, veteran yang dulu sempat ditugaskan di India. Kolonel Crashaw tak punya pilihan, dia harus menghormati sesama veteran, meski ia yakin tulisan tangan itu dihasilkan oleh tubuh yang renta atau sakit.
Ketika kedua pria tersebut akhirnya bertemu untuk pertama kalinya di atas platform Ruang Musik di Hotel The Spa, Kolonel Crashaw menemukan bahwa tebakannya yang kedua benar. Mayor Weaver berusia enam puluh tahun, bertubuh tinggi, kurus dan berkulit legam dengan hidung besar dan pandangan sinis. Pria semacam ini, pikir Kolonel Crashaw, tak mungkin mengalami sesuatu yang tak bisa ia jelaskan sendiri. Tapi hal yang paling mengganggu tentang Mayor Weaver adalah parfum yang ia gunakan. Sehelai saputangan putih terlipat di saku jasnya dan menguarkan wewangian yang sangat menusuk hidung layaknya sebaris bunga lili. Beberapa wanita dalam ruangan itu terlihat mencapit hidung mereka sendiri; dan Jendral Leadbitter bahkan bertanya keras-keras apakah dia diijinkan merokok di dalam ruangan.
Jelas sekali bahwa Mayor Weaver menangkap sindiran itu dengan jelas. Ia tersenyum menantang dan menjawab dengan nada pelan, “Tolong jangan merokok. Tenggorokan saya belakangan ini sedang tidak enak.” Kolonel Crashaw mau tak mau harus ikut angkat suara. Ia bergumam bahwa memang saat ini udaranya sedang tidak bersahabat; banyak orang terserang flu tenggorokan. Mayor Weaver melirik ke arah Kolonel Crashaw dan menatapnya selama beberapa saat, lalu dengan suara lantang ia berkata, “Kalau saya, masalahnya bukan flu, tapi kanker.”
Dalam sekejap, ruangan itu berubah sunyi. Kemudian tanpa menunggu diperkenalkan lagi, Mayor Weaver mulai mengantarkan pidatonya. Awalnya, sang Mayor terdengar terburu-buru. Namun, tak lama kemudian suaranya mulai pecah di sana-sini. Mayor Weaver memiliki suara bernada tinggi, yang terkadang melengking, dan tentunya tidak nyaman didengar. Sang Mayor memuji para anggota grup tersebut; tapi pujiannya justru terdengar berlebihan dan mengesalkan bagi audiensnya. Sang Mayor berkata bahwa dia lega telah menyempatkan diri untuk berbagi dengan rekan-rekan satu grup; karena apa yang akan dia katakan bukan tidak mungkin berpotensi mengubah cara pandang mereka terhadap nilai relatif antara jiwa dan raga manusia.
Mistis, pikir Kolonel Crashaw.
Suara Mayor Weaver yang melengking tinggi mulai mengisi ruangan itu dengan terburu-buru. Jiwa atau roh manusia, katanya, mempunyai kekuatan yang berada di luar perkiraan kita; bahwa aksi fisiologis jantung, otak dan syaraf manusia tak terlalu hebat bila dibandingkan dengan kekuatan jiwa manusia. Jiwa manusia adalah segalanya. Mayor Weaver kembali menekankan dengan suara yang lebih tinggi, “Jiwa manusia jauh lebih kuat dari yang pernah kita bayangkan.” Lantas ia meletakkan sebelah tangan di atas tenggorokannya, dan sambil menyipitkan mata menatap ke arah jendela ruangan yang retak, serta kabut yang menyeruak masuk, dan ke arah bohlam lampu di langit-langit ruangan yang berdesis mengusung panas listrik. Bohlam lampu itu tidak terlalu terang, membuat suasana senja jadi lebih tumpul.
“Jiwa manusia bersifat abadi,” ujar sang Mayor dengan nada serius. Para hadirin pun dibuat tak nyaman dengan ucapannya, selalu mengubah posisi duduk mereka—lelah, tak sabaran.
Pada saat itulah suara Mayor Weaver mendadak terdengar lelah dan nada bicaranya mulai terpatah-patah. Mungkin kesadarannya terhadap ketidaksabaran para hadirin membuat semangatnya luntur. Seorang wanita tua di baris belakang bahkan sudah mengeluarkan perangkat sulam dari dalam tasnya. Jarum sulamnya terpantul ke dinding saat ditempa sinar lampu yang tak seberapa terang—namun tetap menghasilkan pantulan terang seperti roh yang berkelebat lewat. Untuk sesaat, pandangan Mayor Weaver tak sinis seperti biasanya, dan Kolonel Crashaw memperhatikan hal tersebut—bagaimana mata lelaki tua itu mulai berkaca-kaca.
“Ini penting,” cetus sang pembicara. “Saya akan menceritakan sesuatu pada kalian—” Perhatian para hadirin kembali terpancing sesaat karena dijanjikan sesuatu yang pasti, tapi perhatian itu tak membuat Mayor Weaver senang. Ia justru memojokkan mereka: “Tentang pertanda dan keajaiban.”
Di titik itu, Mayor Weaver kehilangan arah bicara.
Tangan Mayor Weaver bergerak lihai mengelus tenggorokannya ketika ia mengutip Shakespeare, lalu St. Paul’s Epistle to the Galatians*Ia mengurangi kecepatan bicaranya, tapi pidatonya mulai tak berurutan, tak jelas arah tujuan. Meski begitu,  sesekali Kolonel Crashaw lumayan tercengang mendengar cara Mayor Weaver membandingkan dua ide yang tidak berhubungan menjadi sebuah gagasan utuh. Rasanya seperti mendengarkan pembicaraan orang lanjut usia  yang melompat dari satu subyek ke subyek lain, dengan benang merah yang dibentuk secara tak sadar.
“Ketika saya bertugas di Simla**,” ujar Mayor Weaver seraya mengerutkan dahi, seolah hendak menghindari cahaya matahari yang datangnya dari alun-alun kota; atau mungkin udara dingin, kabut tebal dan ruangan suram itu memecah ingatannya. Lalu ia mulai berusaha meyakinkan semua hadirin dalam ruangan itu, yang memasang wajah lelah, bahwa jiwa manusia tidak mati ketika tubuh manusia berhenti hidup; karena tubuh manusia dikendalikan oleh jiwa manusia. Oleh sebab itu, manusia harus keras kepala untuk menghadapi kematian.
Menyedihkan sekali, pikir Kolonel Crashaw. Mayor Weaver terlihat begitu putus asa ingin menggantungkan diri pada kepercayaan yang tidak logis. Seolah hidup adalah anak tunggalnya dan menjelang kematian ia ingin meyakinkan dirinya bahwa mereka masih bisa terus berkomunikasi.
Secarik kertas catatan dioper ke Kolonel Crashaw dari seorang hadirin. Nama pengirim catatan itu adalah Dr. Brown, seorang pria bertubuh mungil yang duduk di baris ketiga dan dikenal di antara anggota grup sebagai orang yang sangat vokal dalam berpendapat. Catatan itu berbunyi: “Apakah Anda tak bisa menghentikan dia? Dia terlihat kesakitan. Lagipula apa guna pidatonya?”
Kolonel Crashaw memutar matanya dan menemukan bahwa rasa ibanya terhadap Mayor Weaver menguap seketika saat dia menyaksikan kebohongan itu meluncur bebas dari lidah pria tersebut; juga bau wewangian yang terlampau menusuk yang datangnya dari saku jas sang Mayor. Tak diragukan lagi, Mayor Weaver adalah orang aneh, pikir Kolonel Crashaw. Selesai dari acara ini, di rumah, ia akan mencari tahu lebih banyak soal pengalaman militer sang Mayor di kumpulan data Angkatan Bersenjata.
Positif terbukti,” kata Mayor Weaver seraya mengembuskan napas berat dan lelah di antara kedua kata itu. Kolonel Crashaw sengaja meletakkan jam tangannya di atas meja, namun Mayor Weaver tak mau tahu. Ia menopang tubuhnya dengan sebelah tangan yang ia sandarkan di tepi meja. “Saya akan memberikan kalian,” lanjut Mayor Weaver dengan napas yang lebih berat, semakin sulit—“bukti pos…” Suaranya yang serak mendadak digantikan oleh kesunyian, seperti jarum pada mesin piringan hitam yang tiba pada akhir seleksi lagu, namun kesunyian itu tak tahan lama. Dari wajah yang tak berekspresi itu, suara lain—yang lebih menyerupai lengkingan kucing—mengagetkan audiens dalam ruangan tersebut. Tidak berhenti sampai situ, masih dengan wajah tanpa ekspresi, Mayor Weaver mengeluarkan sederetan suara yang tak bisa dimengerti, bisikan rendah, nada menggantung, sementara jemarinya menampik permukaan meja berkali-kali. Suara-suara itu mengingatkan Kolonel Crashaw akan sejumlah ritual mistis, di mana orang yang kerasukan diikat tubuhnya, sementara tamborin dikocok di udara, dan hantu-hantu kerabat berbisik di tengah kegelapan, berbaur dengan bau apek ruangan pengap.
Lalu Mayor Weaver perlahan-lahan terduduk di kursinya dan membiarkan kepalanya tengadah ke langit-langit. Seorang wanita tua menangis tersedu-sedu dan Dr. Brown segera beranjak ke atas panggung, membungkuk di atas tubuh Mayor Weaver. Kolonel Crashaw melihat tangan sang dokter yang bergetar sembari mengambil selembar sapu tangan dari dalam saku Mayor Weaver dan melemparnya jauh-jauh. Sadar akan bau yang tak sedap, serta bau-bau lainnya, Kolonel Crashaw mendengar bisikan Dr. Brown: “Pulangkan semua tamu. Orang ini sudah mati.”
Dr. Brown berbicara dengan nada tegang yang biasanya tidak pernah didengar dari seorang dokter. Bukankah para dokter sudah sering berhadapan dengan segala macam kematian? Tapi sebelum mengikuti anjuran sang dokter, Kolonel Crashaw menjulurkan lehernya dari belakang pundak Dr. Brown untuk menatap ke arah jenazah Mayor Weaver. Penampilan lelaki renta itu sungguh mengejutkannya. Selama hidupnya, Kolonel Crashaw sudah pernah menyaksikan banyak bentuk kematian, ada yang mati bunuh diri, mati terbunuh di medan perang—namun ia tak pernah melihat kematian seperti ini. Tubuh Mayor Weaver telah lama membusuk, seolah ditinggalkan berhari-hari dalam keadaan mati, kulit wajahnya begitu rapuh seakan siap terkelupas sewaktu-waktu. Seperti kulit buah yang terlalu matang. Maka Kolonel Crashaw tak heran ketika Dr. Brown menyatakan dengan suara berbisik: “Usia jenazah ini setidaknya sudah seminggu.”
Yang terlintas dalam pikiran Kolonel Crashaw adalah pernyataan Mayor Weaver—“Positif terbukti”—mungkin yang dimaksud adalah bukti bahwa jiwa manusia bisa bertahan hidup selamanya, meski tubuh manusia memiliki batas waktu. Namun kejadian ini juga menyimpulkan bahwa tanpa bantuan tubuh, dalam waktu tujuh hari, jiwa manusia tak ubahnya bisikan gaib tanpa arti. FL | Graham Greene
————-
#KETERANGAN:
St. Paul’s Epistles to the Galatians adalah buku ke-sembilan dari Kitab Perjanjian Baru berisi surat-surat yang ditulis oleh Santo Paulus kepada warga-warga Galatia di Asia Minor. Surat-surat tersebut berbicara, di antaranya, tentang panduan hidup sebagai umat Kristiani.
** Simla, atau Shimla, ada sebuah kota di daerah Himachal Pradesh, India, salah satu tempat strategis bagi pemerintahan British India di akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20.
#CATATAN:
> Cerita ini bertajuk “Proof Positive” karya GRAHAM GREENE dan pertama kali diterbitkan oleh Harper’s Magazine pada tahun 1947. Menurut Graham Greene, cerita ini terinspirasi oleh karya Edgar Allan Poe yang berjudul “The Facts in the Case of M. Valdemar”.
>> GRAHAM GREENE adalah seorang dramatis, penulis dan kritikus asal Inggris yang karya-karyanya telah mendunia, seperti: The End of the AffairThe Quiet AmericanThe Tenth Man, dan masih banyak lainnya. Karya-karyanya banyak mengangkat isu politik internasional dan moral yang ambivalen; serta mengusung tema besar yang relijius karena latar belakangnya sebagai umat Katholik.

0 Komentar:

Komen disini ya :)

Cerita Istimewa " Sepuluh Indian "

Suatu hari, setelah mengikuti perayaan Hari Kemerdekaan di pusat kota, Nick berkendara pulang bersama Joe Garner dan keluarga dengan cara menumpangi sebuah kereta kuda. Mereka melewati sembilan orang dari suku Indian yang tengah mabuk di pinggir jalan. Nick ingat benar ada sembilan orang, karena Joe Garner, yang mengemudikan kereta kuda di tengah gelapnya malam, sempat berhenti, turun dari kereta kuda, dan melenggang ke tengah jalan untuk menarik satu orang Indian yang tengah tertelungkup di atas alur roda kereta. Orang Indian itu nampaknya tertidur dengan wajah terkubur di pasir. Joe menarik orang tersebut ke pinggir, di antara semak belukar, sebelum kembali naik ke atas kereta kuda.
“Sudah sembilan orang yang kita singkirkan,” kata Joe. “Padahal kita belum terlalu jauh berkendara dari kota.”
Nick duduk di bagian belakang kereta bersama dua anak laki-laki keluarga Garner. Dari bukaan di belakang kereta, Nick melihat orang Indian yang tadi diseret Joe ke tepi jalan.
“Apakah orang itu Billy Tabeshaw?” tanya Carl.
“Bukan.”
“Karena celananya mirip dengan milik Billy.”
“Semua orang Indian mengenakan celana serupa.”
“Aku bahkan tidak melihatnya sama sekali,” celetuk Frank. “Pa turun dari kereta dan kembali ke kereta dalam waktu singkat. Kukira dia sedang membunuh ular.”
“Pasti banyak orang Indian yang akan membunuh ular malam ini,” kata Joe Garner.
“Dasar Indian,” ujar Mrs. Garner.
Mereka terus berkendara. Jalanan yang mereka lewati berkelok dari ruas jalan utama dan mulai menanjak menuju area berbukit. Sulit sekali bagi Joe Garner dan kuda-kudanya untuk menarik beban kereta yang terlalu berat, maka ketiga remaja laki-laki yang duduk di belakang akhirnya turun dan berjalan kaki. Jalan yang mereka lewati cukup berpasir. Dari atas bukit, Nick menoleh ke belakang, ke arah gedung sekolahnya. Ia melihat lampu-lampu yang menerangi daerah Petoskey, serta nun jauh di seberang LittleTraverse Bay, lampu-lampu yang menerangi daerah Harbour Springs. Setelah jalanan yang mereka lalui kembali berada dalam posisi datar, ketiga remaja tadi diminta naik ke atas kereta.
“Harusnya jalanan itu ditaburi kerikil,” keluh Joe Garner. Kereta yang mereka tumpangi kini melintasi jalan kecil yang membelah hutan. Joe dan Mrs. Garner duduk berdempetan di kursi depan. Nick duduk di antara kedua remaja keluarga Garner. Jalanan yang mereka lalui kini tiba di bukaan hutan.
“Pa pernah menabrak seekor sigung di sini.”
“Bukan di sini, lebih jauh lagi.”
“Tidak penting tempatnya di mana,” kata Joe tanpa menoleh ke belakang. “Semua tempat sama layaknya untuk menabrak seekor sigung.”
“Semalam aku melihat dua ekor sigung,” ujar Nick.
“Di mana?”
“Di dekat danau. Mereka sedang mencari ikan mati di pinggir pantai.”
“Mungkin yang kau lihat itu raccoon,” kata Carl.
“Menurutku mereka sigung. Kurasa aku tahu seperti apa bentuk binatang sigung.”
“Seharusnya kau tahu,” sahut Carl. “Pacarmu kan orang Indian.”
“Jangan bicara seperti itu, Carl,” tegur Mrs. Garner.
“Ya, tapi kan bau mereka sama.”
Joe Garner tertawa.
“Hentikan tawamu, Joe,” kata Mrs. Garner. “Aku tidak suka Carl bicara seperti itu.”
“Memangnya kau benar punya pacar orang Indian, Nickie?” tanya Joe.
“Tidak.”
“Dia bohong, Pa,” kata Frank. “Prudence Mitchell itu pacarnya.”
“Bukan, kok.”
“Setiap hari mereka selalu bertemu.”
“Tidak setiap hari,” sanggah Nick. Terjepit di antara Carl dan Frank, Nick merasa begitu hampa sekaligus senang karena digoda perihal Prudence Mitchell. “Dia bukan pacarku.”
“Dengarkan saja nada bicaranya,” kata Carl. “Aku selalu melihat mereka berduaan setiap hari.”
“Sementara Carl tidak bisa mencari pacar,” cetus ibunya. “Bahkan perempuan jalang tak mau jadi pacarnya.”
Carl terdiam.
“Carl tidak bisa apa-apa jika dihadapkan dengan anak gadis,” kata Frank.
“Diam kau.”
“Jangan khawatir, Carl,” ujar Joe Garner. “Wanita tak bisa membuat hidupmu lebih maju. Lihat saja ayahmu ini.”
“Sekarang kau bicara begitu,” kata Mrs. Garner, bergerak lebih dekat ke arah suaminya saat kereta yang mereka tumpangi terhentak. “Dulu pacarmu banyak sekali.”
“Pasti Pa tak pernah pacaran dengan perempuan jalang.”
“Jangan pikir macam-macam,” ujar Joe. “Jaga pacarmu baik-baik, Nick.”
Mrs. Garner berbisik di telinga suaminya dan membuat Joe tertawa.
“Kalian menertawai apa?” tanya Frank.
“Jangan kau beri tahu,” ancam istrinya. Joe tertawa lagi.
“Nicki boleh punya pacar seperti Prudence,” kata Joe Garner. “Aku sudah cukup puas dengan satu istri.”
“Jaga bicaramu,” kata Mrs. Garner.
Kuda-kuda itu bersusah-payah melewati jalan berpasir. Joe menarik tali kekang mereka sambil terus melambaikan pecutnya di tengah kelamnya malam.
“Ayo, tahan,” kata Joe kepada kuda-kudanya. “Besok kalian harus bisa bekerja lebih baik dari ini.”
Kuda-kuda itu berderap menuruni bukit panjang, membuat kereta yang mereka tumpangi terhentak berkali-kali. Di sebuah rumah pertanian, semua penumpang turun dari kereta. Mrs. Garner membuka pintu rumah, masuk ke dalam, dan keluar lagi seraya menenteng sebentuk lampu petromaks. Carl dan Nick mulai mengeluarkan muatan kereta dari belakang. Frank duduk di kursi depan untuk mengendarai kereta ke dalam lumbung dan mengikat kuda-kuda itu di kandang masing-masing. Nick menaiki anak tangga dan membuka pintu dapur. Mrs. Garner tengah menyalakan api di tungku masak. Ia membalikkan tubuhnya sambil menuang minyak tanah ke atas tumpukkan kayu bakar.
“Sampai jumpa, Mrs. Garner,” kata Nick. “Terima kasih sudah mengajakku ke kota.”
“Tak perlu berbasa-basi, Nickie.”
“Aku sungguh menikmati perayaan tadi.”
“Kami senang bisa mengajakmu jalan-jalan. Kau tak mau makan malam bersama kami?”
“Sebaiknya aku pulang. Ayah pasti sudah menunggu.”
“Kalau begitu lebih baik kau tak berlama-lama, agar tidak kemalaman. Tolong panggil Carl supaya masuk ke rumah, ya.”
“Baiklah.”
“Selamat malam, Nickie.”
“Selamat malam, Mrs. Garner.”
Nick keluar ke pekarangan rumah dan melangkah ke lumbung. Joe dan Frank tengah memerah susu.
“Selamat malam,” kata Nick. “Aku senang sekali sudah diajak ke kota.”
“Selamat malam, Nick,” ujar Joe Garner. “Kau tak mau tinggal sebentar untuk makan?”
“Tidak, aku tidak bisa lama-lama. Boleh titip pesan untuk Carl dan sampaikan bahwa ibunya mencarinya?”
“Baiklah. Selamat malam, Nickie.”
Nick berjalan kaki, tanpa alas, melalui jalan setapak yang melintasi area padang rumput di bawah undakkan lumbung. Jalan setapak itu mulus dan jejak embun terasa sejuk di telapak kakinya. Ia menaiki pagar di akhir padang rumput, menyusuri turunan ngarai, dan dengan kaki basah gara-gara terendam lumpur, ia memanjat area perbukitan hutan pohon beech hingga matanya tertumbuk pada lampu-lampu yang menerangi sebuah pondok kecil. Ia memanjat pagar yang membatasi pondok itu dan melangkah menuju beranda utama. Lewat jendela pondok tersebut, Nick bisa melihat ayahnya yang sedang duduk di meja seraya membaca di dekat lampu besar. Nick membuka pintu dan menjejakkan kakinya di dalam pondok.
Well, Nickie,” sapa ayahnya. “Bagaimana harimu?”
“Aku senang, Yah. Perayaannya lumayan meriah.”
“Kau lapar?”
“Lapar sekali.”
“Sepatumu mana?”
“Kutinggal di kereta keluarga Garner.”
“Ayo, kita makan di dapur.”
Ayah Nick menenteng lampu petromaks. Ia berhenti dan mengangkat tutup kotak es. Nick masuk ke dalam dapur. Ayahnya membawa sepotong ayam di atas piring dan satu pitcher susu ke dalam dapur, lalu meletakkannya di atas meja makan, di hadapan putranya. Ia juga meletakkan lampu petromaks yang ada di tangan.
“Masih ada pie juga,” katanya. “Kau mau?”
“Tentu saja.”
Ayah Nick duduk di sebuah kursi di sisi meja makan yang dilapisi kain perlak. Bayangan tubuhnya yang besar tampak gelap dan misterius di dinding dapur.
“Siapa yang menang pertandingan baseball?”
“Petoskey. Lima-tiga.”
Ayahnya menatap Nick melahap santapan malam itu seraya menuangkan susu ke dalam gelas. Nick meneguk isi gelas dan menyeka mulutnya dengan selembar serbet. Ayahnya mengulurkan tangan ke arah lemari makanan dan mengambil sepiring pie. Ia memberikan potongan besar untuk Nick. Pie itu berperisa buah frambos, atau huckleberry.
“Apa yang kau lakukan seharian ini, Yah?”
“Tadi pagi Ayah pergi memancing.”
“Apa yang Ayah tangkap?”
“Hanya ikan kakap putih.”
Ayah Nick menatap putranya melahap potongan pie yang ia sediakan.
“Lantas apa yang Ayah lakukan sore tadi?” tanya Nick.
“Ayah iseng jalan-jalan ke perkemahan Indian.”
“Ada orang di sana?”
“Semua orang Indian pergi ke kota untuk minum-minum.”
“Ayah tidak melihat siapapun?”
“Ayah lihat temanmu, Prudie.”
“Di mana?”
“Di dalam hutan, bersama Frank Washburn. Ayah tak sengaja berpapasan dengan mereka. Mereka tampaknya sedang asyik berdua.”
Ayah Nick mengalihkan pandangannya ke sekeliling dapur.
“Apa yang mereka lakukan?” tanya Nick.
“Entahlah. Ayah tidak memperhatikan.”
“Tapi Ayah pasti tahu apa yang mereka lakukan.”
“Ayah tidak tahu. Ayah cuma dengar suara mereka yang sedang bermain di tengah hutan.”
“Ayah tahu dari mana kalau itu mereka?” desak Nick.
“Karena Ayah melihat mereka.”
“Tadi katanya Ayah tidak lihat.”
“Oke. Ayah melihat mereka dengan cukup jelas.”
“Siapa yang Ayah lihat ada bersama Prudie?” tanya Nick.
“Frank Washburn.”
“Apakah mereka—”
“Apa?”
“Bahagia?”
“Ayah rasa, cukup bahagia.”
Ayah Nick beranjak dari meja makan dan melangkah keluar dapur lewat pintu kasa. Ketika ia kembali, Nick sedang menatap piring makannya. Remaja itu tampak habis menangis.
“Mau lagi?” tanya ayahnya seraya mengambil sebilah pisau untuk memotong pie.
“Tidak,” jawab Nick.
“Mungkin sebaiknya kau makan sepotong lagi.”
“Aku tidak mau.”
Ayahnya lantas membereskan meja makan.
“Ayah melihat mereka ada di bagian hutan mana?” tanya Nick.
“Di belakang perkemahan Indian.” Nick menatap piring makannya lagi. Ayahnya berkata, “Sebaiknya kau pergi tidur, Nick.”
“Baiklah.”
Nick pergi ke kamar tidurnya, melepaskan pakaian dan membaringkan tubuh di atas ranjang. Ia mendengar suara langkah kaki ayahnya yang berderap di sekitar ruang keluarga. Nick membenamkan wajahnya di atas bantal.
“Aku patah hati,” pikirnya. “Kalau ini yang kurasakan, hatiku pasti hancur.”
Tak berapa lama kemudian, Nick mendengar ayahnya meniup lampu petromaks dan beranjak ke kamar tidurnya sendiri. Ia juga mendengar desau angin yang mengusik pepohonan di luar, sebelum berembus masuk ke dalam kamar lewat jendela. Ia terbaring di atas ranjang untuk waktu yang cukup lama, dengan wajah tertanam di bantal. Namun setelah beberapa jam, ia lupa terhadap Prudence dan akhirnya tertidur. Ketika ia terbangun di tengah malam, ia mendengar suara angin yang bergemuruh di antara pepohohan hemlock, di luar pondok mereka, dan suara ombak yang pecah di tepi danau. Kemudian ia tertidur lagi. Ketika pagi tiba, angin berembus kencang dan ombak bergulung tinggi di perairan danau dan Nick terjaga untuk waktu yang lama sebelum dia teringat soal hatinya yang hancur. FL 
————-
#CATATAN:
> Kisah ini bertajuk “Ten Indians” karya ERNEST HEMINGWAY dan pertama kali diterbitkan di dalam koleksi “Men Without Women” pada tahun 1927.
>> ERNEST HEMINGWAY adalah seorang sastrawan asal Amerika Serikat yang telah memenangkan Penghargaan Nobel di tahun 1954. Ia merupakan seorang cerpenis handal dan novelis dengan karya-karya mendunia, seperti The Sun Also RisesA Farewell to ArmsThe Oldman and the Sea, serta For Whom the Bell Tolls.

0 Komentar:

Komen disini ya :)