Cerita Istimewa " Sanggar Latifa "

Sanggar Latifa
Karya : Anna Berkarya


“Kak Ana…”
Seorang gadis cilik berbaju biru yang tengah memakai selendang ungu memanggilku. Dia bernama Shinta, muridku di Sanggar Latifa ini. Ya, aku adalah seorang pelatih tari jawa, sekaligus orang yang mendirikan Sanggar ini. Tak luput dari bantuan temanku, Latifa.
“Ya Shinta, ada apa?” ucapku sambil menghampirinya dan membantunya memakai selendang.
“Kak, boleh aku tanya sesuatu sama kakak?” tanya Shinta dengan wajah polosnya.
“Tentu saja, kamu mau tanya apa sayang?” jawabku sambil membelai rambutnya.
“Kenapa Sanggar ini diberi nama Sanggar Latifa kak? Bukankah Sanggar ini milik kakak? Terus, Latifa itu siapa kak?” cerocos Shinta sangat penasaran.
 Deg…entah mengapa jantungku seperti serasa ditusuk oleh ribuan jarum. Mendengar nama Latifa disebut, aku tak kuasa menahan tangisku.
Ingatanku menerawangg pada 5 tahun yang lalu…
*****
            Latifa Dyan Sinamba, murid pindahan dari Batak. Dia memiliki paras yang cantik dan menawan. Ibunya keturunan Arab, dan ayahnya dari Batak. Latifa sangat pendiam dan wajahnya terlihat sangat murung. Sekarang Latifa adalah teman sebangku ku. Kami bersekolah di sebuah SMA negeri di kota Solo. Dan saat ini kami sedang duduk di kelas dua.
            Akhir-akhir ini, saat pulang sekolah, ia selalu terburu-buru. Ketika ku tanyakan penyebabnya, ia selalu mengelak. Latifa sangat tertutup denganku meskipun aku selalu berusaha menjadi sahabat yang baik untuknya. Hal ini terjadi berulang-ulang kali. Karena penasaran, aku mengikuti Latifa dari belakang saat pulang sekolah. Aku terkejut ketika Latifa masuk ke sebuah sanggar tari jawa. Aku menunggunya hingga ia selesai. Setelah ia keluar dari sanggar, aku menghampirinya.
 “Latifa…kamu belajar tari jawa?” tanyaku dengan keras.
Latifa menengokke kanan dan kiri dengan cemas. Aku semakin bingung dengan tingkah Latifa.
“Sssstt..kamu kalau ngomong jangan keras-keras dong?” ucap Latifa setengah berbisik.
“Sebenarnya ada apa sih Fa?” tanyaku semakin penasaran.
“Oke, aku akan menceritakan semua sama kamu, tapi kamu janji ya jangan bilang hali ini sama orang tuaku.” Pinta Latifa dengan wajah memelas.
“Jadi, orang tua kamu enggak tau tentang hali ini?” tanyaku lagi.
“Huuufh..iya An, aku tidak pernah bilang orang tuaku kalau aku ikut sanggar tari. Orang tuaku tidak pernah setuju jika aku menjadi penari tradisional. Ayahku selalu menentangku. Ayahku bilang bahwa menjadi penari tradisional itu tidak mempunyai masa depan.” Jawab Latifa sedih.
Dari sinilah aku mulai kagum pada pendiriannya untuk tetap menekuni seni daerah meskipun ditentang oleh orang tuanya.
*****
            Hari-hari berikutnya, Latifa mulai terbuka kepadaku. Dia banyak bercerita tentang kecintaanya pada tari jawa. Dari situlah aku mulai mengenal seluk beluk tari tradisional yang mulai menumbuhkan minatku.
“Ana, tahukah kamu, sekarang minat remaja pada tari daerah mulai memudar seriring dengan berjalannya waktu.” Kata Latifa pada suatu hari sepulang sekolah.
“Ya, kamu benar. Mereka lebih suka tari modern daripada tari tradisional.” Ucapku.
“Padahal, tari jawa mempunyai daya tarik khusus lho?” kata Latifa meyakinkan.
“Benarkah? Apa itu?” tanyaku.
“Jika kita belajar tari jawa, kita bisa melatih kesabaran dan emosi jiwa kita. Tari jawa sering disebut dengan ‘beksa’ yang artinya esa/satu. Maksudnya, orang yang tengah menari jawa haruslah benar-benar menuju suatu tujuan, yaitu menyatukan/meluluhkan jiwanya dalam setiap gerakan tari. Sehingga tercipta gerakan tari yang indah dan selaras dengan gending gamelan. Jadi, menari itu membutuhkan konsentrasi yang tinggi dan bisa mengasah otak kita.” Jelas Latifa panjang lebar.
“Latifa, kamu hebat. Padahal kamu bukan asli orang jawa, tetapi kamu tau jauh lebih banyak daripada aku.” Pujiku.
“Ana..Ana.. kalau kita mau menekuni tari jawa, enggak harus asli orang jawa kan? Kamu tahu Sulistyo, dia adalah penari jawa yang terkenal. Salah satu murid terbaiknya itu berasal dari Jepang yang bernama Michi Tomioka.” Lanjut Latifa.
*****
            Tak terasa satu tahun berlalu, kami sering menghabiskan waktu bersama. Aku pun mulai rajin berlatih tari jawa di sanggar bersama Latifa. Pada pertengahan kelas tiga, aku mulai mengurangi frekuensi berlatihku di sanggar tersebut karena ingin fokus pada ujian. Tapi tidak dengan Latifa, hampir setiap hari sepulang sekolah ia berada di sanggar tersebut, sampai akhirnya malapetakapun datang….
Aku terbangun dari tidurku karena terkejut mendengar pintu rumahku yang diketuk dengan keras. Kulihat jam weker menunjukkan pukul 01.00 WIB. Siapa yang bertamu malam-malam begini, pikirku.
“Ana, tolong aku.” Aku kaget setengah mati melihat wajah latifa. Mukanya memar dan berwarna biru. Air mata membanjiri di sudut matanya. Kulihat ia juga membawa koper besar.
“Latifa? Apa yang terjadi? Kataku setengah berteriak karena panik melihat keadaannya. Orang tuaku pun ikut terbangun karenanya.
Latifa hanya diam dan terus menangis, ia benar-benar merasa ketakutan. Lalu kupeluk dia erat-erat, aku ikut menangis merasakan penderitaanya. Aku membawanya ke kamarku. Ku obati lukanya dan menyuruhnya untuk beristirahat. Saat itulah ia bercerita bahwa Ayahnya memergoki ia sedang berada di sanggar. Ayahnya sangat marah dan memukulinya. Aku berbicara pada orang tua ku tentang masalah Latifa. Orang tuaku memakluminya dan mengijinkan Latifa tinggal disini untuk sementara waktu.
*****
Pada pukul 05.00 WIB, lagi-lagi kami dikejutkan oleh suara pintu yang diketuk sangat keras. Ayahku yang terbangun duluan untuk membukakannnya. Aku mengikutinya di belakang, dan Latifa berjalan disampingku. Setelah pintu dibuka, berdirilah sesosok Pria berbadan tegap dengan raut wajah yang murka. Ya, dia adalah Harun Sinamba, ayah Latifa.
“Oh, jadi disini kamu bersembunyi! Ayo pulang! Bikin malu keluarga!” bentak Pak Harun.
“Aku tidak mau pulang!” kata Latifa sambil bersembunyi di belakangku.
Pak Harun langsung menerobos masuk kerumahku dan menarik paksa tangan Latifa. Ayahku mencoba menenangkan amarah Pak Harun, tatapi dia justru mendorong Ayahku hingga jatuh. Aku dan ibu membantu Ayah berdiri. Pak Harun menyeret Latifa ke mobilnya. Aku berusaha mengejar Latifa, tetapi Ayah menghalanginya.
“Ini bukan urusan kita Ana, biarkan mereka sendiri yang menyelesaikannya.” Kata beliau bijak.
Ya Allah, semoga tidak terjadi apa-apa dengan temanku, Latifa.
*****
            Setelah kejadian tadi malam, aku tidak pernah bertemu dengan Latifa. Sudah 1 minggu lebih dia tidak berangkat, saat aku berkunjung ke rumahnya, pembantunya bilang dia sedang pergi bersama Ayahnya. Aku semakin khawatir dengan latifa, padahal seminggu lagi kami akan mengikuti UAN. Aku tidak kehabisan akal, besoknya lagi aku menemui guru TU (Tata Usaha) untuk menanyakan perihal Latifa. Ternyata di dalam buku, Latifa sudah tercatat pindah sekolah. Aku lemas seketika.
*****
Beberapa bulan kemudian…
Aku berhasil mengikuti tes SNMPTN, akhirnya aku diterima di sebuah Universitas Negeri di Solo dengan jurusan sastra Inggris.
Ketika sedang beristirahat di taman rumahku, aku dikagetkan dengan datangnya pos surat. Aku berdiri mematung ketika kulihat sebuah nama pengirim yang tertera dalam surat tersebut. LATIFA. Aku menitikan air mata haru, segera ku buka surat tersebut.
Dear Ana….
Hidupku bagai burung dalam sangkar berjeruji besi. Meskipun mempunyai sayap, aku tak mampu mengepakkannya.
Aku rindu akan hangatnya mentari yang slalu menyinariku setiap pagi.
Aku tak ubahnya katak yang terperangkap dalam tempurung. Gelap, sunyi, bahkan untuk bernafaspun aku sesak. Aku ingin seperti ombak bebas yang menari di luasnya lautan.andai bintang yang pekat itu dapat bersinar lagi…
Aku menangis membaca sepenggal surat dari Latifa. Aku bisa merasakannya. Dia benar-benar tersiksa dengan kehidupannya. Aku meneruskan membaca surat Latifa.
Ana, kudengar kamu berhasil masuk ke fakultas sastra inggris. Selamat ya, aku bangga padamu. Sekarang aku berada di Jakarta. Ayahku memaksaku untuk masuk ke fakultas kedokteran. Sebenarnya aku sangat tersiksa. Ana, aku membeli sebuah rumah di solo, aku mohon dirikanlah sebuah sanggar tari di rumah itu. Jadilah pelatih tari jawa untuk semua orang yang berminat pada tari jawa. Aku mohon, wujudkanlah cita-cita yang tak mampu ku wujudkan sendiri. Terima kasih atas kebaikanmu selama ini.
Latifa Sinamba
Aku kembali meneteskan air mata. ternyata selama ini dia masih memikirkan nasib tari jawa.
Bebrapa hari kemudian, aku pergi ke alamat rumah yang sudah dibeli oleh Latifa. Letaknya tidak terlalu jauh dari kampusku. Aku bisa bekerja di sanggar setelah pulang dari kampus. Setelah mengatur dekorasi sedemikian rupa, akhirnya aku meresmikan sanggarku yang ku beri nama “Sanggar Latifa”. Agar aku selalu teringat perjuangan Latifa selama ini.
*****
            Sanggarku mulai ramai dipenuhi anak-anak SD yang ingin berlatih tari jawa, diantaranya adapula remaja-remaja yang berlatih disini. Karena banyaknya murid, aku mempekerjakan para remaja yang sudah mahir untuk membantuku. Latifa pasti akan senang mendengar perkembangan ini. Aku menelpon Latifa untuk memberitahunya, dia senang tapi suaranya terdengar sangat frustasi. Akhirnya ia bercerita bahwa ia akan dijodohkan dengan pemuda pilihan Ayahnya yang tidak ia kenal. Aku berusaha memberikan ia motivasi untuk tetap sabar dan kuat. Tetapi ia justru menangis dan menutup telepon dariku. Sejak saat itu, Latifa tidak dapat dihubungi lagi. Aku menjadi cemas.
*****
            Setelah berbulan-bulan tidak mendengar kabar dari Latifa, aku memutuskan untuk menemuinya di Jakarta. Aku ditemani saudara laki-lakiku Eric. Ayahku yang baik hati rela meminjamkan mobilnya pada kami agar disana kami tidak mengalami kesulitan.
Sesampainya di Jakarta, aku dan Eric mencari rumah Latifa. Setelah seharian kami mencari alamat Latifa, akhirnya kami menemukannya. Saat tiba di rumah Latifa, hari sudah sore. Akupun  mengetuk pintu rumahnya.
“Assalamualaikum.” Ucapku.
“Waalaikum salam.” Jawab seseorang.
Begitu pintu dibuka, aku melihat Pak Harun. Dia berdiri tegang. Sepertinya kaget akan kehadiranku yang tiba-tiba. Aku berfikir, dia akan mengusirku. Tetapi…
“Ana, sudah lama sekali Latifa tidak bertemu denganmu. Dia sangat merindukanmu. Bapak benar-benar merasa bersalah atas keadaannya.” Kata Pak Harun sambil memelukku. Dia menangis. Aku benar-benar bingung. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Latifa? Kenapa dia merasa bersalah atas keadaannya? Oh, Latifa apa lagi yang sedang menimpamu?
*****
            Aku masih terpaku pada sosok wanita di depanku. Dia memakai baju biru, seragam dengan kawan-kawannya. Rambutnya tergerai tak beraturan. Badannya kurus kering. Ia meracau sendiri. Kadang ia berteriak, kadang ia menangis. Aku mendekatinya. Kebelai rambutnya perlahan. Aku tak kuasa membendung tangisku. Aku memeluknya, tetapi wanita itu meronta ingin melepasnya. Aku didorongnya hingga terjatuh. Pak Harun dan Eric membantuku berdiri. Aku segera berlari dari ruangan tersebut sambil bercucuran air mata. Aku tak pernah berfikir, ketika Pak Harun bilang akan membawaku ke tempat tinggal Latifa. Aku tak menyangka ternyata disini Latifa tinggal. Di sebuah rumah sakit jiwa. Dan wanita yang tadi kutemui adalah Latifa Sinamba, sahabatku yang sangat kusayangi.
*****
“Kak Ana?” kata gadis kecil yang dari tadi menungguku berbicara. Aku tersadar dari lamunanku.
“Eh.. iya Shinta, maaf kakak melamun. Jadi, kamu mau tahu siapa Latifa?” kataku
“Tentu saja kak.” Jawab Shinta penasaran.
“Latifa adalah seorang wanita yang berjuang untuk mewujudkan mimpinya. Mimpi seorang Latifa hanyalah mimpi yang sederhana. Ia ingin menghidupkan suatu budaya yang semakin rapuh seiring berjalannya waktu. Meskipun akhirnya ia harus menyerah akan tangguhnya batu yang menghalanginya untuk berpijak. Namun, ia telah membuka mata hati bagi orang-orang di sekelilingnya, bahwa terkadang hidup tak sesuai dengan apa yang kita impikan. Dan kehendak yang terlalu dipaksakan akan berbuah menyakitkan.”


0 Komentar:

Komen disini ya :)

Cerita Istimewa " Tarian Mimpi "

Tarian Mimpi


Ini hari pertamaku di sekolah yang baru. Aku siswi pindahan dari sebuah sekolah di Padang. Sekolahku hancur karena gempa. Mama memilih untuk pindah ke Jakarta. Aku berharap hari ini menjadi hari yang menyenangkan.
“Hai, kamu anak baru ya?”, tanya dua anak perempuan mengagetkanku. “Iya, namaku Lisa, siapa nama kalian berdua?” tanyaku. “Panggil aku Neng saja dan ini Alin”
Setelah perkenalan itu, aku banyak bertukar cerita dengan Neng dan Alin. Ternyata mereka berdua mempunyai hobi yang sama denganku. Neng dan Alin terlihat sangat bahagia mendengar hobiku menari.
“Wah kita akan mempunyai teman senasib” tegas Neng. “Ya benar, semoga kamu betah selalu diremehkan di sekolah ini” tambah Alin. Aku semakin tidak mengerti dengan pernyataan kedua temanku itu. Namun aku tidak sempat menanyakannya karena bel sekolah telah berbunyi.
Di kelas aku terlihat sangat canggung. Untung saja aku sudah mengenal Alin dan Neng. Tak berapa lama seorang guru datang. Ini pasti Pak Dudu yang baru diceritakan Alin tadi.
“Anak-anak, hari ini kita punya teman baru, pindahan dari sekolah di daerah Padang. Lisa silahkan perkenalkan diri kamu di depan kelas” kata Pak Dudu. Aku kemudian melangkah agak kaku. Jantungku berdebar cepat. Keringatku mulai terasa bercucuran
“Lisa silahkan perkenalkan nama, hobi, dan moto hidupmu” tegas guru baruku itu.
Aku coba menghela nafas dan coba tegar. “Selamat pagi teman-teman. Namaku Lisa Pradana, hobiku adalah menari Piring”
Belum sempat aku menyebutkan moto hidupku, namun hampir semua teman-temanku di kelas menertawakanku. Kecuali Alin dan Neng. Aku mulai bertanya-tanya. Apakah ada pernyataan aneh yang tadi kuucapkan.
“Hei Lisa, jauh-jauh kamu pindah sekolah, eh hanya punya hobi kampungan” jawab Mona, ketua kelas di kelasku. Nyaliku seketika ciut. Namun Pak Dudu tetap menyuruhku menjelaskan moto hidupku. Aku coba kembali tegar.
“Moto hidupku adalah capailah mimpi dan cita-cita dengan berusaha keras dan berdoa” kataku. Suasana di kelas tetap ramai dengan tawa. Hari itu menjadi ujian bagiku
Setelah jam sekolah berakhir, aku bertanya banyak tentang sekolah baruku itu. Ternyata di sekolah ini ekstrakurikuler favorit adalah drumband dan modern dance. Kedua ekstrakurikuler itu sering memenangkan lomba. Tari tradisional yang akan kupilih sangat jarang peminatnya, hanya Alin dan Neng. Namun Alin dan Neng tetap semangat berlatih agar bisa membanggakan sekolah. Aku pun pulang dengan semangat dari perkataan kedua temanku itu.
Waktu terus berjalan. Tidak terasa enam bulan sudah aku menimba ilmu di sekolah baruku. Alin dan Neng pun sudah menjadi sahabat terdekat. Kami selalu menyempatkan waktu berlatih menari bersama.
“Aku akan membanggakan kota Jakartaku dengan Tari Topeng ini” tegas Alin saat berlatih. “Aku akan membanggakan masyarakat Jawa Barat, khususnya daerah Bandung dengan Tari Jaipong ini” kata Neng tidak kalah semangat. Aku pun tidak mau kalah, “Dengan Tari Piring ini aku akan bangga jadi orang Padang”.
Setelah latihan kami beristirahat sambil berbagi cerita. Alin menceritakan mimpinya yang sangat indah. Ia bermimpi menari Topeng di depan menara Pizza Italia. Sedangkan Neng bermimpi sangat unik dan cukup lucu. Ia bermimpi mengajari orang-orang Jepang menari Jaipong. Mimpi mereka terjadi karena doa yang mereka ucapkan sebelum tidur. Mulai sekarang, aku pun akan selalu berdoa sebelum tidur.
“Haha, dasar anak-anak kampung. Bermimpi terlalu berlebihan. Modern dance dan drum band tetap akan menjadi favorit di sekolah ini” sahut Mona. Ah, anak sombong ini lagi. Entah sejak kapan ia mendengar pembicaraan kami.
“Hei Mona, biarlah kami tidak terkenal. Akan tetapi kami telah ikut melestarikan kebudayaan Indonesia” sahut Alin geram. Mona langsung membuang muka dan pergi dari hadapan kami. Tidak berapa lama Pak Dudu mendatangi kami. Ia terus memberikan semangat untuk berlatih lebih keras kepada kami. Alin dan Neng pun menceritakan mimpi-mimpi lucu yang dialami.
“Mimpi akan menjadi kenyataan jika Tuhan berkehendak. Teruslah menari untuk mimpi kalian. Teruslah bermimpi dan berjuang” tegasnya menyemangati kami. Kami sangat senang dengan kata-kata Pak Dudu itu.
“Kalian adalah orang-orang yang beruntung karena kalian akan mewakili sekolah untuk program misi budaya ke luar negeri” jelas Pak Dudu. Kami semua terkejut mendengar berita itu. “Kalian persiapkan dua minggu dari sekarang. Negara pertama yang akan kalian kunjungi adalah Jepang lalu ke Italia dan Kanada” tambah Pak Dudu.
Kami semua masih terdiam. Mimpi Alin dan Neng akan menjadi kenyataan. Kita akan manari di luar negeri. Kami pun memberikan kabar ke orangtua kami dan segera mengurus persiapan keberangkatan.
Hari-hari menjelang keberangkatan kami manfaatkan untuk berlatih. Kami tidak hanya mengharumkan nama sekolah namun juga negara tercinta. “Selamat yah, aku dan teman-teman meminta maaf atas perlakuan kami yang telah lalu” kata Mona yang datang tiba-tiba. Mona dan teman-teman yang lain pun mengatakan keinginannya mempelajari tarian Indonesia yang lain. Mereka juga ingin membanggakan daerah mereka masing-masing.
Inilah kebahagiaanku yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Mendapatkan sahabat-sahabat baru lewat sebuah kecintaan terhadap budaya yang ada di Indonesia.
-Maret 2011-

0 Komentar:

Komen disini ya :)

Cerita Istimewa " Tarianku Membawaku Ke Paris "

Tarianku Membawaku Ke PARIS

Hari itu hujan masih mengguyur sudut kota. Ketika itu tampak salah satu gadis remaja yang duduk di tangga sebelah lorong panjang kelas. Teman-temannya biasa memanggilnya Laila, gadis remaja sederhana yang tak terlalu populer di sekolah dan tak banyak bicara namun memiliki bakat tari yang sangat luar biasa, bisa di bilang ia gadis kuper. Beigitu kata teman-temannya. wajahnya terlihat pucat menggigil kedinginan seolah setiap rintikan air hujan membekukan sel -sel aliran tubuhnya. sedingin hatinya saat itu. Membuatnya seperti insan yang mati rasa. Hari itu Laila sedih memikirkan perkataan serta ocehan-ocehan temannya yang tidak sopan terhadapnya terutama perkataan Echa, gadis manja yang terkenal cantik di sekolahnya. Raut wajah Laila terlihat dari kejauhan tampak seperti orang yang sedang memberontak keras!! tak menerima keinginannya dan impiannya dilecehken dan dipandang rendah oleh teman-temanya seperti sampah yang tak berarti. Yah keinginanya adalah menjadi seorang penari profesional, terkenal, dan disenangi banyak orang. Namun teman-temanya tidak suka denganya, mungkin mereka semua iri dengan Laila.

Tak lama dari itu, ada seorang gadis mendekati Laila. Sari namanya, ia adalah sahabat yang duduk sebangku dengan Laila. Ia datang dengan membawa kabar yang menggembirakan untuk Laila, karena Sari tahu bahwa penari adalah impian Laila. Sari tak ingin melihat Laila sedih, ia tahu sekali bagaimana rasanya pada waktu itu ia melihat Laila dipermalukan oleh teman-temanya sesama penari, namun berbeda aliran, mereka mengikuti tarian modern yang biasa dikenal sebagai Modern Dance sedangkan Laila tarian tradisional. Mereka merusakan kaset yang berisikan lagu pengiring tarian Laila, namun Laila dengan ketabahan dan kesabaranya ia tak ingin membalasnya.

Sari datang dengan membawa selebaran mengenai Kontes Tari Tradisional, yang hadiahnya adalah ke Paris. Awalnya Laila tidak percaya dan pesimis dengan kontes itu
”aku gak mungkin bisa ikut perlombaan itu sar”. sahut Laila dengan suara terseduh-seduh menahan sedih.
”Laila.. kamu harus ikut, ini adalah ajang untuk menampilkan bakatmu, dan kamu bisa membuktikan kepada teman-temanmu bahwa tarian tradisional gak norak”. jawab Sari.
Laila terdiam merenungi perkataan Sari, ia ingin sekali mengikuti kontes itu namun ia tidak bisa, karena ia tidak memiliki cukup uang untuk mengikuti kontes itu.
”tapi sar..”.
”tapi apa ?.uang?, kostum?, transport?.. gampang semua sudah aku yang urus”.
potong Sari.
Dengan mata yang berkaca-kaca Lailapun langsung memeluk Sari, ia tak tahu harus berkata apa, yang ada dibenaknya hanyalah perasaan bahagia yang luar biasa, sari adalah sahabat yang baik, ia selalu menolongnya disaat-saat genting seperti ini.

Hari yang ditunggu-tunggu itupun telah tiba. Dengan persiapan latihan yang cukup Lailapun siap menghadapi kontes tersebut, ia tidak tahu bahwa Echa musuh bebuyutanya Laila mengikuti kontes ini, padahal ia adalah gadis yang tidak suka dengan tarian tradisional. Tak kala pada saat itu, ketika echa berjalan menuju toilet iapun melihat Sari dan Laila beru keluar dari toilet, Echa bergegas lari dan bersembunyi dari pandangan mereka berdua. Namun hal itu percuma, karena Sari telah melihat terlebih dahulu sosok Echa dibalik pintu dekat dengan ruang audisi kontes tersebut.
” Heeii.. Echaa.. Cha.. Cha..”. jerit Sari.
Echa sontak diam dan tertunduk malu, lalu Saripun mendekati Echa
” Hah..? kamu ikut kontes ini,.. ga salah? Kan kamu sendiri yang bilang kalau tarian tradisional itu norak dan ga banget...” oceh sari.
”Sudahlah Sar.. gak penting tau ga.. aku bersyukur akhirnya ia mencintai tarian tradisional seperti aku”. Balas Laila.
Dari jauh terdengar nomor peserta Laila disebut, waktunya Laila menunjukan kebolehanya.
”Maaf ya Cha namaku sudah dipanggil aku harus ke ruang audisi.. ayo Sar temenin aku” sahut Laila dengan lembut.
Pada saat diruang audisi Laila mendapatkan giliran terakhir, iapun menampilkan tarian tradisional yang berasal dari daerah asalnya, yaitu Lampung. Tarian cangget yang ia kuasai dan ia tunjukan kepada penonton di ruang audisi, membuat juri dan penonton tak ingin berkedip dari pandanganya. Dengan luwes dan seirama Laila menari, tak lama dari itu tepukan tangan meriahpun didapatkan oleh Laila, baru kali ini ia mendapatkan tepuk tangan yang meriah seperti ini. Komentar-komentar dari juripun tidak ada yang aneh-aneh, semua juri sangat menyukai tarian Laia. Lagi-lagi penontonpun memberikan tepuk tangan yang meriah seiring dengan keluarnya Laila dari atas panggung audisi.

Saatnya pengumuman pemenangpun dibacakan, Laila selalu berdoa didalam hatinya agar ia memenangkan perlombaan ini, pemenangpun telah dibacakan, dari juara harapan satu hingga tiga telah dibacakan, namun tidak disebut namanya. Laila selalu berharap masuk dalam tiga besar, akhirnya pemenang untuk tiga besarpun dibacakan, namun lagi-lagi nama Laila tidak disebuat, ia sangat sedih, ia menangis hatinyapun serasa patah, sesak didada. Namun tak lama dari itu, dewan juri berkata bahwa masih ada satu juara lagi, dimana yang mendapatkan juara itu, maka ialah yang akan pergi ke Paris untuk berlibur.
”Baiklah.. untuk juara favorit dan berangkat ke Paris adalah Laila Octavia Zaini” Akhirnya nama Lailapun disebut, Laila begitu terkejut dan sangat bahagia yang tak terkira, ia segera menaiki panggung untuk menerima hadiah. Saripun merasa senang karena impian Laila dapat tercapai. Namun, Sari melihat Echa sedang bersedih dipojokan dekat pintu keluar, Sari mendekati Echa.

”Kenapa kamu Cha ?..Hmm Cha, suka atau tidak, cepat atau lambat, maka kita selalu mendapatkan kebalikan dari apa yang kita punya. Semua hal dalam hidup yang singkat ini hanyalah berdasarkan hukum itu. Cantik dan buruk rupa. Kaya dan miskin harta. Pandai dan bebal otaknya. Hukum itulah yang selalu didengungkan oleh berbagai pujangga dari zaman lama, maka dari itu cha, janganlah kita meremehkan kemampuan seseorang”.

0 Komentar:

Komen disini ya :)

Cerita Istimewa " Aku Cinta Dia "

Aku Cinta Dia
Karya : Zlen

Desiran ombak bengitu riuh terdengar, gemercik air yang sesekali menghanyutkan butiran-butiran pasir yang berlinang-linag menjadi irama yang selalu menyanyikan lagu merdu menyelinap di lubang telingaku. Seperti biasa aku nikmati dan aku selalu bersantai di pagi hari di belakang rumahku. Belakang rumahku yang begitu luas, tak hanya sekedar luas. Namun sangat amat luas, terbentang genangan air nan kebiru-biruan tapi jernih yang tak dapat aku lihat ujungnya. Aku hanya tahu disinilah pangkal daratannya, di tanah inilah, di tanah yang sekarang aku injakan kedua kakiku.
Sesekali aku melirik mentari yang sedang tersenyum malu-malu yang muncul dari arah lautan sebelah timur, semakin lama semakin terlihat jelas senyumanya. Begitu terang, bagaikan bola lampu yang siap menerangi di setiap ruangan kala gelap datang.
Burung-burung mulai keluar dari sarang mencarikan sarapan pagi untuk anak-anaknya. menari-nari di atas hamparan samudra yang terbentang, begitu indah, begitu menggoda, dan memanja pada setiap mata yang melihatnya. Tak ketinggalan nama Riski Agung Pratama yang berderet bagaikan perahu-perahu nelayan yang keluar dari ujung lautan yang semakin lama semakin terlihat besar. Riski Agung Pratama nama yang sudah tak asing di panca indraku, hampir setiap detik denyutan nadiku teraliri nama Riski Agung Pratama.
Bukan pacar, karena kita tak pernah ada kata jadian. Meski orang-orang di sekitarku mengatakan kita pacaran. Bukan sahabat, karena aku tak ingin keberadaanku di hatinya seperti sahabat-sahabat yang lainnya. Dan yang pasti kita juga tidak menjalin hubungan TTM-an. Aku tidak peduli ketika dia dikerumuni cewek-cewek yang bisa jadi suatu saat mereka akan mau dipacarinya. Begitu juga dengan dia, aku tak tahu bagaimana ia menanggapi kedekatanku dengan cowok-cowok di sekelilingku yang juga siap memacariku yang memang aku dianugrahi oleh Tuhan sebuah wajah yang indah, sehingga tak sedikit mata lelaki yang melirik ku atau kagum terhadapku. Ditambah sikapku yang mudah sekali bergaul bahkan dengan orang yang baru saja aku kenal. Dan aku hanya bisa menjaga sikap saat aku bersamanya. entahlah.
Kata orang kalau kita tidak ada rasa cemburu berarti kita tidak punya rasa cinta. Apakah benar ini bukan cinta? Tapi jujur aku juga tak bisa untuk kehilangannya. Aku bahagia saat bersamanya, jalan-jalan sekedar mencari sebuah keindahan dan aku juga hargai semua ketulusannya padaku. Ketulusan seorang kekasih terhadap kekasihnya atau ketulusan seorang sahabat pada sahabatnya atau mungkin ketulusan seorang saudara kepada saudaranya. Aku juga tak tau. Yang jelas aku senang terhadap perhatiaannya yang diberikan padaku selama ini.
Mentari semakin tinggi, cahayanya semakin terasa panas menyengat Desa dimana aku terlahir, Tanjung mas. tak sejuk lagi seperti senyumnya kala ia datang. Aku pun harus bergegas siap-siap menjalani rutinitas kehidupanku. Kehidupan sebagai seorang mahasiswi. Mahasiswi Fakultas Bahasa Inggris, Kampus IAIN Walisongo Semarang.
Ku tuturkan sampai jumpaku pada laut, pada burung-burung, pada matahari yang telah menemani pagiku. Mungkin mereka akan menangis dengan kepergiaanku, mungkin juga mereka malah senang atas kepergiaaku. Aku juga tak tau. Aku hanya bisa berharap mereka akan setia menemani pagiku esok.
“sarapan dulu non” pinta mbok Nah yang melihatku masuk dari teras belakang sambil membawa gelas minumanku yang isinya telah aku habiskan tak tersisa.
“iya mbok, aku mau mandi dulu” jawabku pada mbok Nah yang tak pernah lelah untuk menyiapkan makanan untuk keluargaku dari pagi hingga datang pagi lagi.
Setelah mandi dan siap untuk berangkat, aku lihat handphone yang dari tadi berada di ranjang tidurku. Dua panggilan tak terjawab, aku buka dan nama Riski Agung Pratama tertera dalam layar handphone. Aku hanya bisa tersenyum manis saja saat melihat dan membacanya, aku tak dapat lakukan apa-apa lagi selain kekecewaan atas ketidak tahuanku saat Riski Agung Pratama menelfon aku. Mau gimana lagi mau aku telfon balik juga aku sudah siap berangkat, itu pun dapat mengakibatkan aku terlambat kuliah. Jadi biarlah.
Dengan kecepatan maximal 80km/jam aku geber laju motor matic kesayanganku, saling salip dengan bus yang akan masuk maupun bus dari dalam terminal Terboyo yang memang tak jauh dari tempat tinggalku. dan juga bus kota jurusan Boja yang terkadang berhenti, sekedar untuk menurunkan penumpang atau membawa penumpang yang di antaranya beberapa mahasiswa IAIN Walisongo, yang nantinya akan diturunkan di Jl. Prof. Dr. Hamka Ngaliyan Semarang. persis depan kampus meraka dan kampusku juga.
“Cinta?” terdengar suara memanggil namaku yang sedang berada diparkiran. Aku toleh kanan dan kiri ternyata Rita.
“iya Rit,” balasku sambil tersenyum dan mengangkat tanganku.
“gimana PR nya” tanya Rita yang tak sabar ingin melihat hasil kerjaku
“beres boss.” Dengan percaya diri aku keluarkan makalah dari tas cangklongku yang menggantung di bahuku.
“hahh?” Rita hanya bengong saat melihat makalah yang kubawa.
Aku juga membalas bengongnya dengan kebengonganku yang tak tahu apa maksud Rita, sambil bertanya pada diriku sendiri. apa ada yang salah dengan makalah itu.
“aduh Cinta sayang,” begitu ia memanggilku sapaan akrab persahabatan kami.
“kamu tau gak sekarang mata kuliahnya apa?” imbuhnya dengan banyak tanda tanya yang berputar-putar di atas kepalanya.
“statistik” jawabku santai
“ini makalah apa?” makalah linguistik disodorkan padaku.
Ternyata aku salah ngeprint tugas kami, maklum saat menyelesaikannya aku selingi dengan kesibukanku berbalas pesan dengan Riski Agung Pratama yang tak tahu sekarang sedang apa di kota tetangga.
“hehehe, maaf Rita sayang, aku salah bawa” terangku menjawab kegelisah-kegelisahan Rita atas kesalahanku.
Ku ambil lagi motorku dan langsung tancap gas bersama Rita menuju warnet terdekat, sudah kebiasaan setiap tugas kuliahku selesai langsung aku upload ke website agar tidak hilang termakan virus dan juga dapat dibuka dimana saja saat kita butuhkan. Toh sekarang warnet sudah bukan lagi tempat yang langka, bahkan sekarang di desa-desa sudah tau apa itu warnet.
Hari ini begitu menyenangkan dengan beberapa kejadian di kampus. Dan sesekali Riski Agung Pratama muncul menemanku lewat Sort Message Send di dalam handphone-ku. Ya, aku lebih suka kehadirannya di-handphone-ku saja dari pada kehadirannya di depanku, karena itu akan membuatku salah tingkah. Dan mengharuskan diriku se-perect mungkin di hadapannya.
Aku kembali menemui laut, namun tidak lagi aku ditemani senyum mentari. Lautan bilang mentari sudah pulang ke sarang. Memang di tempat inilah aku biasa mengerjakan tugas-tugas kuliahku yang ditemani kilauan ombak malam yang terkadang lebih terpancar saat rembulan datang, di iringi tiupan angin pantai yang segar dan juga nama seorang Riski Agung Pratama di dalam handphone yang kini berada di genggaman tanganku, yang terkadang juga membantuku dalam mengerjakan tugasku.
Besok adalah hari minggu, itu artinya esok aku tak ada kuliah, tak ada tugas tentunya. Lagi-lagi aku lewati malam minggu sendirian dan kegalauan dengan pikiran yang tak aku ketahui siapa sebenarnya yang ada di dalamnya. Seperti itulah aku lewati malam mingguku, tak seperti malam minggu remaja pada umumnya yang katanya malam yang indah untuk berpacaran.
Jari-jemariku mulai menari membelai huruf demi huruf yang berada di keypad laptopku, ingin aku curhatkan semua yang ada difikiranku kepada Tuhanku. Aku yakin Dia akan mendengarku dan akan memberi apa yang terbaik bagiku.
Tanjung mas, 08 Desember 2012
Ya Rob,
aku tau semua yang terjadi di kehidupanku tak lain adalah kehendak-Mu.
tak mampu aku melangkahkan kakiku,
melambaikan tanganku dan menggerakkan semua organ tubuhku
tanpa ada izin dari-Mu.
Aku tau kau tak akan memberi cobaan pada ku melebihi batas kemampuanku. Dan tentunya hal terbaik yang bakal Kau berikan padaku.
Ya Rob,
Aku bingung dengan perasaan yang Kau berikan padaku,
aku tak tau apa ini rindu atau hanya sekedar rasa ingin
bertemuku dengan sahabatku.
Aku bingung dengan cintaku yang saling berdatangan dan
membuatku tak dapat melabuhkan hatiku. Begitu juga dengan nama
Riski Agung Pratama. Lidahku tak dapat katakan “iya” untuknya
dan juga katakan “tidak” untuknya tanpa titah-Mu
Ya Rob,
Hanya pada-Mu semua aku serahkan, karena Kau lah pengatur
semua kehidupan dan pemilih yang terbaik untuk hamba-hamba-Mu.
Aku cetak dan aku ambil botol bekas yang ada di rumahku, kemudian aku masukkan sepotong kertas tersebut ke dalam botol yang berada di tanganku dan ku lempar ke laut sejauh mungkin aku dapat melemparnya. Cara itulah yang sering kali aku lakukan jika aku ada masalah, entah curhatku atau sekedar salam rinduku pada Riski Agung Pratama. Aku tak peduli siapa yang akan menemukan dan membacanya. Karena aku tak mungkin mengatakan rinduku padanya, di hadapannya. Meski terkadang aku ingin mengatakan di hadapannya, yang mungkin dia akan merasa bahagia setelah mendengarnya, dan bisa juga ia akan marah padaku saat mendengarnya.
Hari terus berjalan, matahari masih datang menebarkan senyuman saat fajar tiba dan tenggelam saat senja menjemputnya, semakin hilang dari pandangan mata dan dunia terasa gelap tanpa cahayanya. Hingga ahirnya aku menerima selembar kertas merah hati bertalikan pita biru muda yang tertuliskan “menikah: Riski Agung Pratama bin H. Nur Said dengan Neila Khansa binti Ibrahim” hatiku begitu terpukul, bulu-buluku terasa merinding, mataku mulai berlinang-linang dan semakin tak dapat aku tahan tetes demi tetes air mata yang mengalir kemudian membasahi kedua pipiku.
Seketika itu ingin rasanya aku merobek-robek, membakar hanguskan bahkan membuang kertas tersebut ke tengah lautan agar tengelam. Namun semua itu tak kan dapat merubah isi dari tulisan tersebut. Aku menangis, aku merintih, aku menyesal, aku merasa kehilangan. Satu hal yang aku tahu pasti: Ikuti kata hati saat ia telah begitu menginginkanmu. Hatimu tak pernah melakukan salah, karena itulah yang kau pinta. Sekarang atau nanti, saat kau tak bisa lagi dan menyesal diri.
Cerpen Karangan: Zlen
Blog: www.zlen.wordpress.com
Facebook: www.facebook.com/zlen.ae

0 Komentar:

Komen disini ya :)

Cerita Istimewa " Kau, Aku dan Dia "

Kau, Aku dan Dia
Karya : Aya Emsa

Adakah yang percaya bahwa sepasang sahabat pria dan wanita bisa menyayangi dengan tulus dan tidak berharap saling memiliki? Aku percaya. Dan itulah kami berdua.
“Kalau aku suka sama kamu gimana, Nay?” Sahabatku yang mengatakannya. Saat itu kami sedang berada di pinggir jembatan. Menikmati gemerlap langit malam yang dihiasi puluhan petasan cina hari raya, berwarna-warni. Sedang bedug dan takbir bertalu-talu di seantero kota. Seriuskah yang dia katakan? Ahahhaayy… dia sedang bercanda. Mimiknya usil sekali.
“Aku juga suka sama kamu,” jawabku santai sambil mengerlingkan mata. Seriuskah aku? Em.. tidak juga. Beginilah kami berkomunikasi. Sering mengungkapkan perasaan yang kami sendiri ragu-ragu.
Sebenarnya serius atau tidak, main-main atau tidak. Kadangkala memang serius, dan di kala lain hanya bercanda. Sampai kami sendiri tidak bisa memisahkan, mana yang serius dan mana yang bercanda. Hubungan yang aneh. Begitu kata seorang temanku. Namun bagiku? Tidak juga. Kami ini sahabat, tidak ada yang aneh kan dengan persahabatan?
Namanya Zen. Kami bersahabat sejak 3 tahun yang lalu. Belum terlalu lama memang, karena setahuku banyak pasangan sahabat yang umur persahabatannya sudah lewat belasan tahun. Dan itu bukan masalah bagi kami. Yang penting kami saling berbagi dan saling jujur mengenai apapun. Terutama asmara.
Hari itu Zen menemuiku, wajahnya agak bingung. “Nay, kemaren aku habis ditembak.” Katanya seraya menarik satu kursi perpustakaan dan duduk di hadapanku. Zen sering bercerita kalau dia habis ditembak cewek. Heran, kenapa pula cewek-cewek itu yang nembak dia? Ganteng juga ngga’ tuh dia. Biasaaa ajaaa…
“Oh ya? Siapakah kali ini?” tanyaku jenaka. Aku mengalihkan perhatian dari bacaanku. Mendengar kisah cinta Zen selalu lebih menarik daripada buku bacaan apapun. Bahkan novel best seller sekalipun.
“Adik kos kamu.”
Aku mengernyitkan kening. Aku punya sekitar satu lusin adik kos, dan untuk menemukan satu dari mereka yang sedang dimaksud Zen itu bukan hal yang mudah. Karena malas menebak satu-satu sampai Zen bilang iya, aku langsung mengajukan pertanyaan, “Siapa?”
“Yang kemarin aku temui waktu kamu ga ada,” Zen ini, biasanya langsung memberitahu, kenapa pula sekarang musti berbelit-belit dan mengajakku tebak-tebakan. Nah kali ini? Kenapa dia tidak bilang langsung saja? Tapi tidak ada gunanya mendebat Zen. Jadi kuputuskan untuk mengingat, siapa dari mereka yang bertemu Zen karena saat mencariku, aku tidak ada. Memoriku menangkap satu nama, “Sinta?”. Sahabatku mengangguk.
“Olalalaaa… Haha, mantap. Radar kamu cerdas ya, yang ditangkap yang model Sintaaa…” godaku. Zen malah mengkerucut. “Jangan bercanda Nay, aku bingung nih…”
“Lah, kok malah bingung? Capcus komandaaann! She’s good!” kataku berbinar memberi semangat. Agaknya terasa sesuatu yang lain dalam hatiku. Halus tapi mencubit-cubit. Namun sesuatu itu aku abaikan.
“Aku nggak enak sama dia..” lanjutnya masih selemas tadi. “Dan aku belum mengiyakan tapi juga belum menolak, biar waktu yang menjawab..” jelasnya. Entah kenapa aku begitu tidak peka. Lebih tepatnya tidak tahu kalau jawaban seperti yang dikatakan Zen itu adalah harapan menggantung bagi adikku Sinta, yang notabene aku tidak pernah menyangka akan kesemsem sama Zen dan sampai mengungkapkan perasaannya lebih dulu. Sinta itu kalem dan tidak aneh-aneh, kupikir dia cukup pemalu untuk masalah beginian. Jadi setelah sepotong kisah Zen itu, aku bahkan nyaris tidak pernah menanyakan hubungannya dan Sinta. Lupa dan tidak peduli. Mana tahu ternyata ada kelanjutan dari roman itu kemudian hari.
Jika kami sama-sama sedang tidak ada jam kuliah, biasanya kami duduk-duduk di bawah pohon jambu merah di tepi bendungan yang lokasinya tidak jauh dari kampus. Di sana sejuk, angin semilir tanpa polusi, pemandangan wajah air yang bergelombang kecil, gemericik air bendungan, mengalunkan irama alam yang merdu. Kalau rejeki kadang ada buah jambu masak pohon yang manis jatuh menimpa kepala. Lokasi ini cocok sekali untuk mengerjakan tugas dan membaca buku. Dan di sanalah aku dan Zen sekarang, menseriusi sebuah buku teori Kapitalisme Adam Smith sebagai materi ujian minggu depan.
Satu pesan singkat mampir di ponselku. Aku menjawabnya lantas mendesis kesal. Zen yang menyadari itu menoleh, “Kenapa Nay?”
Wajahku masam. “Ini nih, Fahdi, masa dia bilang mau ngiyain orang yang ngegosip kalo aku pacarnya dia? Ogah deh!” semburku. Aku bersungut-sungut kesal. Zen malah tertawa.
“Kalau digosipin sama aku mau?” Zen menggoda.
“Emang kamu suka sama aku? Enggak kan, dear…” Sanggahku sambil tertawa kaku yang dipaksakan, aku sedang tidak mood untuk bercanda sekarang. Pertama karena sms Fahdi yang bikin ‘gerah’ dan kedua karena aku kesal konsentrasi bacaku pecah. Ada jeda sesaat.
“Kalau iya gimana?” Zen tidak cengingisan kali ini. Tapi seperti biasa, aku tetap tidak tahu dia serius atau tidak. Aku tidak langsung menjawab. Sekali lagi aku memberikan jeda dalam percakapan selama satu-dua menit. Aku menarik napas.
Beberapa hari terakhir cubitan-cubitan lembut dalam hatiku mengusik kedekatan kami. Aku tidak sungguh tahu itu punya makna khusus atau tidak mengenai kami.
“Kalau iya, aku juga suka kamu kayak kamu suka aku.” Upss! Kelepasan sudah.
“Makasih, Nay..” lanjut Zen. Tampak serius. “Sama-sama, Zen,” lanjutku sambil nyengir kuda – tapi Zen tidak melihatnya. Aneh saja menyaksikan adegan semi serius dan Zen dengan tampang begitu, tidak biasa.
“Tapi untuk saat ini, aku nggak bisa jadi pacar kamu,” lanjutnya. Aku sontak terkejut dan tertawa. Apa-apaan anak ini? Memangnya aku mau bikin dia dan Irene – pacarnya – putus? Lagipula aku juga tidak sedang bersungguh-sungguh.
“Hyaaahhh… Hahahhaa… Siapa pula yang mau jadi pacar kamu, ndorooo…” kami tertawa bersama. Ditemani oleh buah-buah jambu yang meranum di pohon. Dalam hati aku berdo’a semoga satu – dua atau banyak dari buah yang bergelantungan di tangkainya itu jatuh dan memberi kami kebahagiaan tambahan.
Hari-hari kami berlalu seperti sediakala. Sekali lagi pernyataan beberapa hari lalu tidak mempengaruhi apapun. Hanya saja, komunikasi kami jadi lebih intens setelah itu, bahkan satu – dua teman menduga kami sudah tidak lagi sebatas sahabat, ada juga yang bilang kami ini TTM (Teman Tapi Mesra) dan mungkin malah TTS (Teman Tapi Sayang). Hakikatnya ya sama saja, kami hanya sepasang sahabat.
Meskipun demikian, tidak bisa aku pungkiri bahwa hatiku lambat laun menanamkan cinta untuk Zen. Dan tanpa disadari dia pun begitu. Perasaan manis mengalir begitu saja, sangat alami sampai kami terbawa arus ini dan secara halus menodai makna persahabatan yang kami jalin. Kami memang tetap sahabat, tapi seringkali kami mengandaikan hidup bersama. Bahkan saat kesekian kalinya Zen berkunjung ke rumahku, keluargaku malah mendukung aku dan dia – padahal sudah kukatakan kami hanya sahabat. Mereka bilang, “Sudah… dengan Zen saja, nggak usah cari yang lain…” Olalalaaa… kacau kan ini? Pertahananku jebol sudah. Aku jatuh cinta pada Zen. Kulupakan semua kriteria yang pernah kusyaratkan bagi pangeranku, hatiku mulai memposisikan Zen dengan segala lebih dan kurangnya sebagai seseorang yang penting, yang akan aku temani sepanjang hidupku. Tapi Tuhan tidak setuju, sahabat hanya sahabat, cukuplah saja menjadi sahabat. Maka kesalahanku ini dihentikan-Nya satu tahun kemudian.
Satu Tahun Kemudian
Ada yang berbeda dengan Zen. Dan sebagai sahabat dan orang terdekat Zen saat ini, aku sudah jelas menyadari hal itu. Bukan satu – dua hari kami berteman. Aku jelas bisa membedakan, kapan dia menyembunyikan sesuatu dan kapan tidak. Dan kukira sekarang dia sedang melakukannya. Tapi Zen diam saja menanggapi komentarku tentang sikapnya akhir-akhir ini. Bahkan saat aku mulai menanyakan hal tersebut, dia tetap bungkam. Padahal, saat dia ditembak Irene dan mulai pacaran sampai saat dia putus dengannya pun, Zen menceritakannya padaku. Kenapa kali ini tidak? Apa yang salah denganku? Dengan dia?
“Nay, Zen pacaran sama Sinta ya? Aku lihat mereka jalan kemarin.”
“Zen ada apa sama Sinta?”
“Sejak kapan Sinta jadian sama Zen, Nay?”
“Kok Zen sekarang nyarinya Sinta?”
“Nay, sahabat kamu kok nitip sesuatu buat Sinta ke aku?”
Jawaban dari semua pertanyaan itu adalah aku tidak tahu. Zen tidak memberitahu. Dan dia tidak pernah seperti ini, dia selalu menceritakan segala sesuatu yang terjadi padaku. Namun sekarang, setiap aku bertanya Zen hanya berkata; “nanti aku pasti cerita”. Ada yang salah dengannya. Apa jangan-jangan dia sedang jatuh cinta? Sampai tidak ingin aku tahu lebih dulu? Tapi kenapa dia tidak mau aku tahu? Bukannya selama ini aku selalu tahu? Cubitan di hatiku menusuk-nusuk. Apakah aku sudah tidak dianggap sahabat lagi?
Saat teman-temanku terus bertanya padaku, aku dia biarkan tidak tahu apa-apa dan bertanya-tanya. Terus terang aku kecewa, aku kesal dan marah. Jika memang benar Zen jatuh hati pada Sinta, dia bahkan tidak perlu diam-diam. Harusnya dia mengatakannya padaku dan akupun tidak akan melarang atau menyalahkannya. Meskipun aku memang akan patah hati. Zen harusnya sadar, sebesar apapun perasaan kami, aku dan dia hanya sahabat. Sama sekali tidak ada ikatan lain yang mengharuskan kami untuk tidak lagi jatuh cinta. Aku marah bukan karena dia mencintai Sinta, tapi karena dia tidak jujur padaku dan menganggap aku mungkin akan sangat terluka dan rapuh oleh cinta. Lupakah dia bahwa aku bukan tipe gadis yang seperti itu? Hatiku perih. Seolah ada benda tajam yang disayat-sayatkan di sana.
Saat akhirnya aku bertemu dia di halaman kampus, aku membawanya paksa ke bendungan.
“Sekarang ceritakan Zen, ada apa antara kamu sama Sinta!”
Zen menunduk, diam saja. Dia terlihat enggan bicara.
“Zen, kamu ngga’ bisa diam terus begini. Jelaskan padaku! Semua orang nanyanya ke aku dan kamu biarkan aku ngga’ tahu apa-apa. Tega ya kamu!” lanjutku marah-marah.
“Ok.” Katanya. “Kamu tanya apa, aku jawab sebisaku.”
“Kamu jatuh cinta sama Sinta?” pertanyaan pertama. Zen hanya menjawab pendek. “Iya.”
“Kalau begitu ceritakan!” Titahku. Agak lama Zen terdiam, lalu akhirnya dia buka suara.
“Aku sayang padamu, Nay. Bukan lagi sebatas sahabat, lebih daripada itu…” katanya mengawali ceritanya. Aku menarik napas, dalam hati aku menjawab, “Ya, aku tahu. Dan aku juga begitu…”
Zen menarik napas pendek. Kemudian dia melanjutkan, “Tapi entah kenapa rasa itu juga muncul saat aku bersama Sinta, saat-saat itu dia sedang rapuh. Saat-saat ujian dan penerimaan mahasiswa baru di kampus kita… tapi jangan artikan ini sebagai rasa kasihan, Nay.. Dia butuh seseorang yang bisa jadi motivator, dukung dia, dengerin semua curhat dia dan semua beban dia. Mungkin dari situ, akhirnya…”
Hatiku ngilu mendengarnya. Aku mengangguk-angguk ringan, paham betul dengan cerita Zen. Seperti ini ternyata rasanya dihianati oleh orang yang paling kamu percaya. Kukira Zen tidak akan menutupi apapun dariku, tapi ternyata dia juga manusia, yang sejujur-jujurnya dia pada orang lain pasti masih menyembunyikan sesuatu dalam hatinya.
“Maafkan aku, Nay…” lanjutnya.
Aku mencoba mencairkan suasana, aku tertawa untuk mencegah air mataku agar tidak tumpah. “Ternyata hanya masalah itu? Zen, Zen… Itu bukan sesuatu yang harus kamu sembunyiin dari aku kan? Masalah sepele begitu aja kok ga bilang sih? Aku juga ga akan ngelarang kamu buat pacaran sama siapa aja…” jelasku. Aku tersenyum padanya.
“Ini bukan hal sepele bagiku, Nay… Bukan. Ini berbeda dengan kemarin-kemarin saat aku bisa dengan mudah menceritakannya padamu. Aku juga menata hati, karena aku benar-benar pernah sayang sama kamu..” Pemuda itu menyanggah kata-kataku, menjelaskan. Mimik Zen serius sekali. Mataku panas, hatiku nyeri.
Aku menunduk. Menarik napas. “Tapi kamu tahu kita hanya sahabat. Kamu tahu aku akan marah jika kamu tidak bilang, kamu tahu aku tidak akan mencintaimu jika aku tahu kamu punya orang lain di hatimu, kamu tahu aku tidak akan melarang kamu jatuh cinta, kamu tahu aku tidak akan terpuruk jika kamu memilih orang lain, kamu tahu aku, bahkan kadang lebih tahu dari diriku sendiri…” Aku berhenti bicara, menahan emosiku. Napasku tersengal-sengal. Air mataku sebentar lagi tumpah. Bendunganku sudah tidak kuasa.
“Hadap kanan Zen!” titahku serak. Agak bingung Zen menurut. Lalu aku menangis tanpa suara dibalik punggungnya. Tubuhku terguncang. Lirih Zen memanggil namaku. Tapi kuacuhkan. Aku membiarkan semua perasaan turun lewat airmata yang sudah membanjir di pipi.
Setengah jam berlalu dalam diam. Terlalu banyak yang ingin aku tanyakan sampai aku tidak sanggup lagi bertanya. Biarlah saja, cukup semuanya menjadi rahasia.
“Nay… Maafkan aku…” lirihnya lagi, masih memunggungi aku. Aku mengangguk.
Aku menghapus airmataku, lalu aku tersenyum dipaksakan. Aku tidak boleh bersedih lama-lama. Kisah yang seperti ini memang kadang harus terjadi. Ini kan dunia, mana ada hidup yang lurus-lurus saja? Aku meluruskan dudukku menghadap bendungan.
Saat aku lebih tenang. Aku berkata, “Aku ikhlas kamu memilih Sinta, Zen.. Sudah kukatakan dari dulu kan? Kamu nggak usah ragu buat milih Sinta.”
“Nay… Aku bener-bener minta maaf. Kamu boleh marah dan benci padaku..”
Aku tertawa.
“Alaaayyy… Hahahha… Sudahlah. Kita memang ditakdirkan sahabatan saja.” Kataku sambil memukul kepala Zen dengan buku ekonomi hard cover dengan tebal 500 halaman yang kubawa. Zen mengaduh, “Sakit tahu!”
Kami tertawa. Walaupun luka yang dia torehkan di hatiku mungkin tidak akan sembuh selamanya, tapi kami tidak boleh saling membenci hanya karena urusan cinta. Bukankah dengan begini persahabatan kami jadi kembali lagi seperti sediakala? Tidak lagi tercampuri oleh roman picisan. Masalah-masalah dalam persahabatan lumrah adanya dan memang harus ada. Untuk menguji dan menjadi bumbu kebersamaan. Dengan begitu kami bisa membuktikan bahwa persahabatan kami kokoh dan tahan ujian.
“Em… aku punya satu nasehat buat kamu,” kataku padanya.
“Apa?” Zen mengernyitkan kening. Wajahnya penasaran.
“Cintailah sahabatmu jika di muka bumi ini tidak ada lagi yang bisa kamu cintai dan mencintaimu selain dia..”
Angin bendungan masih semilir menemani kami. Buah-buah jambu air yang kemerahan juga masih bergoyang menggoda, meranum di tangkainya. Dan hatiku saat ini, semerah jambu-jambu itu. Bahagia oleh persahabatan dan rasa sayang tulus yang kami miliki.
Hatiku berbisik. Zen, zen… Aku menyayangimu dengan tulus, aku tidak perlu balasan dan tidak perlu juga memiliki kamu. Dan selamanya akan selalu begitu.
SEKIAN
Cerpen Karangan: Aya Emsa
Blog: Butirbutirembun
Facebook: anindya Aryu Emsa

0 Komentar:

Komen disini ya :)