LOKASI DAN PENGGUNAAN LAHAN WILAYAH PERKOTAAN

Bab ini membahas secara rinci aaspek lokasi dan struktur spasial wilaayh perkotaan. Analisis dimulai dengan penjelasan tentang kaitan antara model Von Thunen dengan Teori Penggunaan Lahan Wilayah Perkotaan (Urban Land-Use Theory). Kemudian analisis dilanjutkan dengan pembahasan tentang subtstitusi faktor produksi antar wilayah perkotaan. Berdasarkan kedua hal tersebut, kemudian diabahas pula penentuan lokasi optimal kegiatan ekonomi wilayah perkotaan (Optimal Urban Location ) yang diikiuti dengan penentuan lokasi optimal perumahan pada wilayah perkotaan. Akhirnya analisis dilanjutkan dengan pembahasan tentang Density Gradient yang merupakan dasar utama yang melandasi terbentuknya struktur spasial sebuah wilayah perkotaan.
  1. A.    Teori Penggunaan Lahan Wilayah Perkotaan
Analisis Von Thunen sebenarnya dilakukan untuk pennetuan lokasi optimal kegiatan pertanian secara deduktif dengan struktur ruang yang bersifat “ Mono-Concentric Zone” (wilayah dengan satu pusat). Masing-masing wilayah didefinisikan sebagai wilayah spesialisasi suatu tanaman pertanian yang lokasi kegiatan pertaniannya ditentukan berdasarkan jarak dari pusat kota (Central Bisnis District, CBD). Secara teoritis penentuan lokasi optimal dilakukan pada kegiatan pertanian ini adalah dalam bentuk lingkaran yang dikenal sebagai “cincin Von Thunen “ (Von Thunen Ring). Sedangkan variabel utama yang menentukan lokasi optimal kegiatan pertanian tersebut adalah perbandingan nilai bid-rent (kemampuan membayar sewa tanah) dengan sewa tanah yang diminta oleh pemilik lahan yang lazim disebut dengan Land-rent.
Wiliam Alonso dan Richard F.Muth (1969) melakukan analisis lebih lanjut dari model Von Thunen khusus untuk membahas kerangka pemikiran dalam penggunaan lahan daerah perkotaan (Urband Land-use)  yang kemudian dikenal sebagai Muth Model. Dalam hal ini struktur ruang masih diasumsikan dalam bentuk Monocentric City (Kota dengan satu pusat).
Dengan membandingkan antara bid-rent dengan land-rent yang berlaku dipasaran untuk sebidang tanah pada lokasi tertentu, akan dapat diketahui pola penggunaan lahan yang optimal dengan melihat pada masing-masing “Von Thunen Ring” yang dihasilkan. Dengan demikian akan dapat ditentuan berdasarkan jarak dari CBD, beberapa wilayah yang secara ekonomis dapat digunakan untuk kegiatan perdagangan, jasa, industri, perumahan dan kegiatan pertanian yang seringkali masih terdapat diwilayah perkotaan yang masih kecil.
Asumsi umum dalan teori penggunaan lahan wilayah perkotaan adalah bahwa wilayah perkotaan muncul sebagai daerah yang datar pada asuatu titik terdapat sebuah CBD. Dan diasumsikan pula bahwa perkotaan tersebut berbentuk bulat yang pada pusatnya terdapat sebuah CBD. Ongkos angkurt pertanian diasumsikan berhubungan positif dengan jarak menuju CBD.
Dalam penentuan lokasi dan penggunaan lahan wilayah perkotaan, terdapat dua bentuk pemilihan lokasi, yaitu :
  • Lokasi kegiatan industri (industrial location), seperti industri pengolahan (manufacturing). Pemilihan lokasi kegiatan industri ini dilakukan dengan menggunaan teori Bid-rent yang juga berlaku untuk sektor pertanian.
  • Lokasi perumahan (residential location). Untuk pemilihan lokasi perumahan umumnya menggunakan model pasar lahan (land-market) dari alonso muth yang kemudian diakui sebagai Standar Teori Penggunaan Lahan Wilayah Perkotaan.
Model ini kemudian diformulasikan kembali oleh Werner Z.Hirsch (1984) :
Maksimum : U (X,L)                                                               (10.1)
Dengan kendala : Y + PX + R (u) L – T (u)                           (10.2)
Keterangan :
Y = Pendapatan Masyarakat
U = Kepuasan (Utility)
X = Konsumsi diluar Perumahan
L = Tanah atau lahan
P = harga dari barang X
R (u) = harga lahan yang fungsi dari jarak
U = jarak dari pusat kota (CBD)
T(u) = ongkos angkut yang fungsi dari jarak
Formulasi diatas memperlihatkan bahwa model ini menggunakan teknik optimisasi dengan fungsi tujuan adalah memaksimumkan tingkat kepuasan konsumen yang sapat digunakna untuk keperluan konsumsi barang dan jasa. Dan juga digunakan fungsi lahrange untuk dasar melakukan turunan (derivatif) :
P = U (X,L) + l [ Y – (PX + R (u) L- T (u))]                                                (10.3)
Diamana l adalah angka pengganda (langrange multiplier). Dilakukan turunan pertama sebagai berikut :
                                                                            (10.4)
                                                                      (10.5)
                                                        (10.6)
                                               (10.7)              
Selanjutnya dengan membagi persamaan (10.4) dengan persamaan (10.5), dapat diperoleh :
UX / UL = P / R (u)                                           (10.8)
Dimana Ux dan UL masing-masingnya dalah Marginal Utility dari Komoditas X dan Komoditas L.Persamaan ini merupakan kondisi teoritis yang sangat penting yang berarti bahwa dalam kondisi maksimum MRS dan non perumahan atau perumahan adalah sama dengan perbandingan harganya.
Ada beberaa analisis tambahan untuk menentukan lokasi optimal perumahan,antara lain :
  • Individu yang berada disuatu rumah tangga (household) semuanya bertujuan untuk memaksimumkan keuasan (utility maximization) melalui peningkatan konsumsi.
  • Semua individu bekerja dipusat kota (CBD),sehingga setiap hari mereka harus melakukan perjalanan pulang balik (commuting) dari tempat tinggal mereka ke tempat mereka bekerja.
  • Semua individu dalam suatu rumah tangga harus mempunyai selera (taste) yang sama sehingga jenis barang yang dikonsumsi juga akan cenderung menjadi sama pula.
Sejumlah keuntungan aglomerasi (Aglomeration Economies) karena berlokasi berdekatan dengan masyarakat dan kegiatan ekonomi sosial lainnya juga akan turut pula mendorong masyarakat untuk memilih lokasi perumahannya dekat dengan CBD. Lokasi yang dekat dengan CBD ini,akan menimbulkan konsekuensi yang besar juga. Karena biaya yang akan dikeluarkan juga akan semakin besar, namun apabila semakin jauh dengan CBD maka biaya yang akan dikeluarkan untuk tanah akan berkurang karena sewa tanah akan semakin murah.
Presentasi secara grafis dari teori Penggunaan Lahan Wilayah Perkotaan ini dapat dijelaskan dengan menggunakan Grafik 10.1
   B 
                        G
 A’                                    E’                                           T                             
 A                     F                                          E                       T                                                                                          H
                                                                                            C
CBD              UC                 U’                             U*                 JARAK
Grafik 10.1 Penentuan Lokasi Optimum Perumahan
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa  kurva AT konstan mewakili Marginal Transportation (Commuting) cost (MTC) sedangkan kurva BC mewakili Marginal Saving of Land (MSL) yang akan menurun dengan semakin jauhnya jarak rumah dari CBD.
Berdasarkan formulasi kondisi optimal pada grafik diatas, maka lokasi perumahan adah pada titik u’ dimana kurva AT berpotongan dengan kurva BC pada titik E, yaitu pada saat MTC = MSL. Selanjutnya, seandainya MTC meningkat dari titik T menjadi T’, maka titik keseimbangan (equilibrium) akan berada pada E’ dan lokasi optimal perumahan akan bergeser menuju titik u* yaitu semakin jauh dari CBD.
Kesimpulan :
Hal ini menjelaskan mengapa pada kota besar harga tanahnya relatif tinggi, lokasi optimal perumahan akan cenderung berada dipinggiran kota guna mengurangi pengeluaran rumah tangga untuk pemilikan tanah.
  1. B.     Sewa Tanah
Sewa tanah (Land-rent) pada dasarnya dalah balas jasa terhadap penggunaan sebidang lahan. Besarnya sewa tanah tersebut bervariasi, untuk daerah perkotaan biasanya sewa tanah akan lebih tinggi bila berlokasi dekat dengan pusat CBD. Dan akan cenderung semakin rendah apabila lahan tersebut berlokasi jauh dari CBD. Tentunya kondisi topografi juga ikut mempengaruhi tinggi rendahnya sewa tanah tersebut.
Sewa tanah juga bervariasi menurut ketersediaan prsarana jalan dan kondisi aksesibilitasnya. Sewa tanah akan cenderung tinggi bila berlokasi dipinggir jalan raya karena aksesibilitas menjadi lebih mudah. Namun, bila berlokasi jauh dari jalan raya dan tidak ada aksesibilitas, sewa tanah akan cenderung rendah. Lebar jalan raya dimana lahan tersebut terletak juga ikut mempengaruhi harga dan sewa lahan.
Disamping aspek lokasi, fluktuasi sewa tanah tersebut ditentukan juga oleh jumlah permintaan (demand) dan penawaran (supply). Namun demikian, jumlah penawaran tanah adalah tetap (fixed) karena perubahan jumlah lahan tersedia umumnya tidak mungkin dilakukan. Kecuali bila terjadi bencana alam atau tindakan untuk melakukan perubahan zoning dan reklamasi tanah seperti dilakukan oleh singapura atau kota tepi pantai lainnya yang memilki lahan yang terbatas.
Sama halnya dengan harga suatu barang, harga sewa tanah akan cenderung tinggi bilamana jumlah permintaan lebih besar dari  jumah penawaran (excess demand). Sebaliknya, harga tanah akan cenderung turun bilamana jumlah permintaan lebih kecil dari pada jumlah penawaran yang ada (excess supply).
Sewa tanah dalam kondisi keseimbangan (equilibrium) akan terjadi bilamana jumlah permintaan dan penawaran terhadap lahan adalah sama dengan sewa tanah sebesar R*. Grafik 10.2 melihatkan fluktuasi sewa tanah berdasarkan perubahan permintaan dan penawaran lahan.





 R                            S1

 R*                          E

                                              D1
          0                    L*                                     L
Grafik 10.2 permintaan dan penawaran lahan
Seperti terlihat pada grafik diatas,kurva penawaran terhadap lahan merupakan garis vertikal yang menunjukkan bahwa penawaran lahan adalah bersifat tetap (fixed) karena lahan tidak dapat diproduksi. Sedangkan kurva permintaan terhadap lahan mempunyai bentuk sama dengan permintaan terhadap barang dan jasa yaitu mempunyai sudut (slope) negatif.
Kesimpulan :
Apabila permintaan terhadap lahan lebih besar dari penawaran maka sewa tanah akan menjadi semakin tinggi. Sebaliknya bilamana permintaan terhadap lahan lebih kecil dari penawaran, maka sewa tanah akan cenderung lebih rendah. Tentunya keseimbangan sewa tanah akan tercapai apabila permintaan terhadap lahan sama dengan penawarannya ayaitu berapada pada R*. Fluktuasi sewa tanah ini sejalan dengan hukum permintaan dan hukum penawaran (law of demand and law of supply) yang berlaku secara umum dalam pasar barang dan jasa.
  1. C.    Model Dinamis Penggunaan Lahan Perkotaan
Analisis penggunaan lahan wilayah perkotaan pada dasarnya masih bersifat statis, karena belum memasukkan unsur waktu secara eksplisit. Kelemahan ini mendorong beberapa ahli untuk mengembangkan metode tersebut dengan menggunakan teknik optimisasi dinamis sebagaimana dikemukakan oleh Mill dan Deferranti (1971)  yang kemudian diformulasikan kembali oleh Miller (1979). Disini analisis Miller dilakukan dengan memanfaatkan Teknik Optimal Control.
Dalam analisis statis, formulasi model dinamis ini dilakukan dengan asumsi bahwa kota bersifat Monocentric, dimana terdapat hanya satu pusat kota (CBD). Disamping itu kegiatan produksi dilakukan di pusat kota, dan daerah pinggiran kota digunakan untuk wilayah pemukiman. Untuk memudahkan pembahasan wilayah perkotaan baik CBD maupun wilayah pinggiran adalah berbentuk lingkaran.
Selanjutnya diasumsikan pula terdapat N rumah tangga (pekerja) yang bekerja di CBD, yang ukurannya ditetapkan dengan radius . Baik N dan , keduanya ditentukan oleh faktor luar (exogeneous variable). Variabel ruang ditentukan berdasarkan jarak dari CBD. Lahan yang berada di luar CBD digunakan hanya untuk dua kegiatan yaitu perumahan (kegiatan 1) dan fasilitas transportasi (kegiatan 2).
Karena penggunaan lahan berbeda menurut lokasi dari CBD, maka kedua kegiatan tersebut diasumsikan sebagai sebuah fungsi dari jarak u (untuk u > ). Dengan demikian, jumlah lahan yang digunakan untuk kegiatan perumahan diluar CBD adalah L1u dan jumlah lahan yang digunakan untuk kegiatan transportasi adalah  L2u. Di samping itu, setiap jarak u dari CBD terdapat  radius tanah yang tersedia untuk kedua kegiatan. Dengan demikian, kondisi tersebut dapat ditulis sebagai berikut :
L(u) + L(u) = u…………………………………………………………………(10.10)
Selanjutnya, perumahan untuk setiap rumah tangga tentunya memerlukan sejumlah lahan tertentu, yaitu : N(u) yang tinggal di lahan L(u) unit lahan, yaitu :
N(u) = a L(u)…………………………………………………………………….(10.11)
Dimana adalah koefisien yang menunjukkan tingkat kepadatan lahan di perumahan.
Kegiatan produksi di CBD membutuhkan perjalanan dari rumah tempat tinggalnya. Pada setiap jarak lingkaran u jumlah pekerja yang melakukan perjalanan melewati lingkaran menuju ke CBD, T(u), adalah jumlah tenaga kerja yang hidup disana atau melewatinya, yaitu :
T(u) = ……………………………………………………………………(10.12)
Dimana  adalah radius wilayah perkotaan. Ada 2 jenis biaya yang dipertimbangkan yaitu biaya transportasi pulang balik dari rumah ke CBD dan biaya kehilangan kesempatan karena penggunaan lahan untuk tujuan lain. Khusus untuk biaya transportasi tersebut dapat ditulis :
P(u) = ……………………………………………………………(10.13)
Dimana p melambangkan ongkos transport untuk setiap kesatuan jarak bilamana tidak terjadi kemacetan lalu lintas, sedangkan adalah ukuran kemacetan lalu lintas per unit pada lokasi u. Karena itu, jumlah ongkos transport secara keseluruhan pada lokasi u adalah p(u)T(u). Sedangkan untuk biaya kehilangan kesempatan karena perubahan penggunaan lahan, misalnya untuk pertanian disimbolkan dengan u. dengan demikian, jumlah ongkos transport yang harus dibayar pada setiap perjalanan adalah :
…………………………………………………………..(10.14)
Permasalahan optimalisasi dalam hal ini adalah untuk memilih keputusan seorang warga kota untuk penggunaan lahan wilayah perkotaan yang dapat menimumkan total ongkos transport pada persamaan (10.14). Dengan  menggunakan teori dasar matematika dan menarik turunannya maka persamaan (10.12) dapat pula diperoleh sebagai berikut :
T’(u) = – N(u)………………………………………………………………………..(10.15)
Akan tetapi, dari persamaan (10.10) akan dapat ditulis :
T’(u) = a L(u) – a u………………………………………………………………(10.16)
Oleh karena itu secara umum kemudian, formula model dinamis penggunaan lahan wilayah perkotaan ini dapat ditulis sebagaimana pada persamaan (10.17) berikut ini :
Maksimum :
Dengan syarat : T’(u) = a L(u) – a u……………………………………………..(10.17)
Untuk dapat memecahkan model dinamis ini sesuai dengan metode Langarange. Kemudian dengan menarik turunan pertama dari persamaan akan diperoleh kondisi optimal dari model dinamis ini. Perbedaan dengan kondisi optimal pada model statis hanyalah mengenai arah perubahan antar waktu dengan variabel-variabel yang terdapat pada kondisi optimal tersebut. Dengan demikian, model dinamis akan dapat memberikan informasi tentang arah perubahan penggunaan lahan wilayah perkotaan untuk masa mendatang.
  1. D.    Lokasi Optimum Kegiatan Ekonomi Perkotaan
Kegiatan ekonomi wilyah perkotaan pada umumnya meliputi kegiatan perdagangan,jasa,dan industry. Namun demikian untuk kota dengan skala menengah dan kecil, fakta empiris memperlihatkan bahwa masih terdapat kegiatan pertanian pada wilayah perkotaan tersebut.
Sama halnya dengan analisisi lahan untuk  pertanian, nanalisa untuk kegiatan ekonomi daerah ekonomi daerah perkotaan juga dapat dilakukan dengan menggunakan teori Bid rent sebgai dasar pembahasan. Dalam hal ini perhitungan Bid rent yang dijadikan dasar analisis adalah disesuaikan dengan jenis kehiatan yang banyak terdapat dalam perekonomian wilayah perkotaan seperti : industry perdagangan, transportasi , jasa dan perumahan. Sedangkan prinsip penentuan lokasi sama dengan analisa pada Bid rent tradisional untuk kegiatan pertanian sebagaimana telah dijelaskanterdahulu.
Selain itu, sama halnya dengan pemilihan lokasi perumahan, beberapa asumsi dasar juga diperlukan untuk memudahkan perumusan pemilihan lokasikegiatan ekonomi wilayah perkotaan. 
  • Perusahaan berproduksi dalam rangka memperoleh keuntungan maksimum
  • Untuk keperluan produksi, perusahaan menggunakan input lahan, dan input lainnya, baik dalam bentuk modal dan tenaga kerja dan substitusi antar keduanya.
  • Terlepas di mana lokasi perusahaan tersebut, tetpai dalam menjual hasilnya harus dibawa ke pusat kota (CBD) yang merupakan pusat perdagangan dan kegiatan jasa lainnya.
Suatu perusahaan dalam menghasilkan keuntungan maksimum akan memutuskan berapa factor produksi akan digunakan dengan melihat pada berapa tambahan nilai penerimaan yang dapat dihasilkan dengan menambah penggunaan satu unit factor produksi . Nilai Marginal Product ini cenderung menurun dengan semakin meningkatnya jumlah produksi. Selanjutnya, bila harga produk bersangkutan turut puyla diperhitungkan maka akan di dapat pula Nilai Marginal Product.
Pertanyaan penting bersifat teoritis yang perlu dijawab dalam hal ini adalah berapa jumlah factor produksi sebaiknya digunakan agar keuntungan maksimum?  Dengan menggunakan prinsip yang terdapat dalaam Teori Ekonomi Mikro, maka jawabnya yaitu pada saat Nilai Marginal Product  (MP) sama dengan harga (P) dikurangi dengan ongkos angkut (tu) sama dengan harga bersih (net price) yaitu:
            VMPL  = (P – t u) MPL
Impilkasi terhadap lokasi kegiatan ekonomi perkotaan adalah bahwa bila lokasi kegiatan bersangkutan semakin jauh dari CBD , maka harga bersih produk akan berkurang sehingga VMP juga menurun. Demikian pula sebaliknya bila lokasi kegiatan ekonomi tersebut menjauh dari CBD , maka harga bersih produk akan meningkat sehingga VMPL juga meningkat. Karena itu, fungsi Bid-rent akan mempunyai kemiringan yang sama dengan kurva Rent-gradient. Sedangkan Rent-gradien tersebut adalah merupakan “envelope curve” dari fungsi bid-rent dari masing- masing kegiatan ekonomi perkotaan.
                
         $






                                                                                             R(u)
                                            
                CBD                                                     B1                        B2                B3          B4
           Grafik 10.3 terbentuknya kurva Rent-gradient
Pertanyaan berikutnya yang berkaitan langsung dengan penggunaan lahan wilayh perkotaan adalaah di mana kegiatan ekonomi perkotaan ini sebaiknya berlokasi (optimal location). Untuk keperluan ini, fungsi Bid-rent yang akan digunakan tentunya haarus berkaitan langsung kegiatan ekonomi wilayah perkotaan tersebut yaitu industry, perdagangan dan jasa. Dengan menggunakan model Von Thunen sebagai dasar, maka lokasi optimal kegiatan ekonomi daerah perkotaan tersebut ditentukan oleh nilai Bid-rent tertinggi untuk masing-masing kegiatan tersebut.
Bila lokasi optimal berada pada suatu titik tertentu , maka ini berarti bahwa lahan pada lokasi tersebut akan digunakan untuk kegiatan tersebut. Dengan demikian , penentuan lokasi sekaligus akan dapat pula menunjukkan pola penggunaan lahan daerah perkotaan ( urban Land-use).

Untuk lebih jelasnya penentuan lokasi optimal ini dapat dilihat dari grafik 10.4



                                       R1

                                                  e1
                                      R2
                          e2                   e3      R3
                          CBD                              a      b               c
                                                       A1
                                                       A2
                                                       A3
                                                      
                                                       A4



Seperti terlihat dari grafik 10.4 ini bahwa garis vertical mewakili Bid-rent yang mengguakan symbol R* , sedangkan garis horizontal mewakili jarak dari pusat kota yang menggunakan symbol u . dalam hal ini , terdapat tiga jenis kurva Bid-rent yang mempunyai sudut yang berbeda yang melambangkan perbedaan kemampuan produk untuk menghasilkan produksi dan selanjutnya juga menentukan kemampuan membayar sewa (Bid0rent) setelah dikurangi dengan semua biaya produksi dan transportasi.
Mengunakan teori lokasi Von Thunan sebagaimana sudah dijelaskan dahulu, maka penentuan lokasi dan penggunaan lahan dilakukan berdasarkan nilai Bid-rent tertinggi yang dapat dihasilkan oleh masing-masing kegiatan ekonomi yang terdapat di daerahperkotaan bersangkutan. Dengan demikian , berdasarkan sudut-sudut  masing—masing kurva Bid rent pada grafik 10.4 , maka lokasi dan penggunaan lahan untuk masing- masing kegiatan ditentukan berdasarkan titik potong nantara satu kurva Bid-rent dengan kurva Bid-rent lainnya.
Dari titik potong tersebut selanjutnya dapat pula ditentukan loaksi kegiatan dan area lahan yang akan digunakan  yaitu A1,A2,A3 dan A4 . Di sini terlihat bahwa lahan yang paling dekat dengan CBd akan digunakan oleh kegiatan dengan Bid-rent tertinggi yaitu R1* dan lahan yang lebih jauh dari CBD akan digunakan untuk lokasi dan lahan kegiatan dengan Bod-rent lebih rendah yaitu R2* dan R3* dan seterusnya. System penggunaan lahan yang demikianlah yang selanjutnya merupakan pola umum penggunaan lahan untuk suatu derah perkotaan.
  1. E.     Keseimbangan Penggunaa Lahan Perkotaan
Dalam analisis ilmu ekonomi, kondisi equlibrium adalah merupakan kondisi keseimbangan yang diinginkan baik oleh pemilik maupun penggunaan lahan yang umumnya berlaku dalam kegiatan ekonomi dan bersifat labil. Namun dalam teori ekonomi penggunaan lahan daerah perkotaan, kondisi equlibrium pada dasarnya adalah kondisi di mana terdapat keseimbangan penggunaan lahan untuk berbagai kegiatan ekonomi dan sosial yang umumnya terdapat di daerah perkotaan sesuai dengan permintaan dan penawaran terhadap lahan perkotaan. Kegiatan-kegiatan tersebut pada umumnya meliputi 4 hal, yaitu:
a)      Perdagangan dan jasa
b)      Industri pengolahan
c)      Perumahan
d)     Pertanian
Kontribusi dari masing-masing kegiatan ekonomi tersebut terhadap kehidupan masyarakat wilayah perkotaan akan ditentukan oleh ukuran kota bersangkutan. Misalnya pada kota yang berukuran besar, dengan penduduk lebih dari 1 juta orang, maka kontribusi kegiatan industri, perdagangan dan jasa akan menjadi lebih besar dibandingkan kegiatan pertanian. Sebaliknya pada kota dengan ukuran sedang dan kecil (misalnya dengan penduduk di bawah 1 juta orang), maka kontribusi kegiatan pertanian akan masih tetap lebih besar dari kegiatan ekonomi lainnya. Sedangkan kontribusi kegiatan perumahan tidak mengalami perubahan sesuai dengan ukuran kota.
Dengan menggunakan teori penggunaan lahan wilayah perkotaan yang didasarkan pada Teori Lokasi Von Thunem, maka keseimbangan penggunaan lahan (Land-Use Equilibrium) terlihat pada Grafik 10.5. Dalam hal ini sumbu vertikal melambangkan Bid-rent yang dapat dibayarkan, dan sumbu horizontal melambangkan jarak dari pusat kota (CBD).



      1
  2
   3
                                                                        4





CBD     1                                                                            Jarak (u)
2
3
                 4

Grafik 10.5. Keseimbangan penggunaan lahan  daerah perkotaan
Sedangkan kurva yang ada didalamnya adalah kurva Bid-rent untuk masing-masing jenis kegiatan ekonomi dan sosial yang umumnya terdapat pada perkotaan.
Sebagaimana yang terlihat pada Grafik 10.5, kurva Bid-rent 1 untuk kegiatan perdagangan dan jasa mempunyai sudut yang sangat tinggi yang memperlihatkan kemampuan Bid-rent yang tinggi pula. Sedangkan kurva Bid-rent lainnya, seperti industri, mempunyai sudut lebih kecil yang memperlihatkan Bid-rent yang lebih rendah. Demikian pula halnya dengan perumahan mempunyai kemampuan Bid-rent yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan kegiatan ekonomi perkotaan lainnya. Sedangkan kegiatan pertanian merupakan kurva Bid-rent dengan sudut paling rendah yang mencerminkan pula nilai Bid-rent yang sangat rendah
            Perbedaan sudut kurva Bid-rent tersebut menentukan lokasi kegiatan ekonomi dan penggunaan lahan daerah perkotaan. Seperti terlihat pada Grafik 10.5, lokasi dan penggunaan lahan di pusat kota (CBD) secara ekonomis sebaiknya digunakan untuk kegiatan perdagangan dan jasa. Alasannya adalah karena harga tanah di pusat kota ini adalah yang paling tinggi, sehingga hanya kegiatan perdagangan dan jasa yang mempunyai Bid-rent yang paling tinggi yang dapat menggunakan lahan pada lokasi tersebut.
Penggunaan lahan pada ring ke 2 setelah CBD, secara ekonomis akan layak untuk kegiatan ke 2 yaitu industri pengolahan, alasannya adalah karena sewa masih cukup tinggi, walaupun tidak lagi setinggi di CBD. Karena itu kegiatan ekonomi yang mempunyai Bid-rent yang asih cukup tinggi dibandingkan dengan Bid-rent perumahan, tapi berada dibawah kegiatan perdagangan dan jasa. Sedangkan kebutuhan penggunaan lahan untuk kegiatan industri pengolahan umumnya lebih besar kegiatan perdagangan dan jasa.
            Selanjutnya penggunaan lahan pada ring ke 3, secara ekonomis akan layak untuk digunakan oleh kegiatan 3 yaitu perumahan dan pemukiman. Alasannya adalah karena harga pasar tanah pada lokasi ini sudah lebih rendah sehingga dapat dibayar berdasarkan kemampuan Bid-rent dari kegiatan perumahan dan pemukiman tersebut yang juga umumnya rendah. Analisis ini dapat memberikan penjelasan mengapa lokasi kegiatan perumahan dan pemukiman umumnya terletak dekat dengan daerah pinggiran kota.
Penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian secara ekonomis hanya dimungkinkan dan layak pada daerah pinggiran kota (ring 4). Alasannya adalah karena kegiatan pertanian memerlukan lahan yang lebih luas. Karena harga lahan di daerah pinggiran biasanya sangat rendah, maka pengembangan kegiatan pertanian dalam arti luas hanya dimungkinkan di daerah pinggiran tersebut sesuai dengan tingkat Bid-rent kegiatan ini yang juga umumnya relatif rendah.
Namun demikian, dalam kenyataannya yang terdapat di negara sedang berkembang, masih terdapat lahan kosong yang berada dekat dengan pusat kota atau masih digunakan untuk kegiatan perumahan dan pemukiman. Di samping itu, tidak jarang pula terlihat masih ada kegiatan pertanian yang berlokasi di daerah perkotaan yang seharusnya diperuntukkan bagi kegiatan perumahan dan pemukiman. Diperkirakan hal ini terjadi karena dua hal sebagai berikut ini:
a)      Adanya kendala dan sengketa tanah untuk perubahan penggunaan lahan sesuai dengan prinsip ekonomi sebagaimana dijelaskan diatas.
b)      Adanya keinginan pemilik tanah untuk melakukan spekulasi menunggu harga tanah yang lebih tinggi lagi di masa mendatang sebelum melakukan alih fungsi lahan tersebut

Pola keseimbangan penggunaan lahan daerah perkotaan sebagaimana dipresentasikan pada Grafik 10.5 diperkirakan juga akan membawa implikasi pada tingkatan lantai bangunan yang akan dibangun. Bangunan yang berlokasi di pusat kota dimana harga tanah sangat mahal akan cenderung memilih gedung bertingkat tinggi. Hal ini disebabkan karena penambahan luas bangunan dengan lantai yang lebih besar akan relatif lebih murah untuk bangunan ke samping menggunakan lahan yang lebih luas. Dengan demikian, pola tinggi bangunan pada wilayah perkotaan adalah seperti terlihat pada Grafik 10.6.
Tinggi
bagunan








                                                                                                                                                                                               jarak
Grafik. 10.6 pengaruh lokasi penggunaan lahan terhadap tinggi bangunan
Selanjutnya, untuk bangunan yang berlokasi pada wilayah setelah pusat kota akan cenderung mendirikan bangunan yang lebih rendah karena harga tanah pada lokasi tersebut sudah lebih murah. Kondisi ini akan menyebabkan penambahan bangunan ke samping menggunakan tambahan lahan akan lebih murah dibandingkan dengan menambah luas bangunan dengan penambahan lantai.
Sedangkan penggunaan lahan untuk perumahan dan pemukiman di daerah pinggiran kota (suburban) akan cenderung hanya menggunakan bangunan lebih rendah (berlantai 1 atau 2) karena harga tanah di daerah ini sudah jauh lebih murah sehingga pembangunan rumah dengan luas lantai lebih besar akan lebih menguntungkan daripada bangunan yang berlantai tinggi (di atas 2 lantai)

  1. F.     Kebijakan Pengaturan Penggunaan Lahan Perkotaan
Walaupun pembahasan di atas memperlihatkan bahwa analisa penggunaan lahan daerah perkotaan umumnya di dasarkan pada mekanisme pasar sebagaimana di jelaskna dalam teori Bid-rent sebagai factor penentu utama, namun demikian ini tidak berarti bahwa penggunaan lahan tidak perlu di atur oleh pemerintah kota bersangkutan . mengingat lahan yang tersedia di daerah perkotaan umumnya sangat terbatas dan mekanisme pasar tersebut kenyataannya tidak selalu bekerja baik, maka pengaturan penggunaan lahan oleh pemerintah tetap perlu dilakukan untuk menjaga efiensi penggunaan lahan dan sekaligus untuk menjaga kualitas lingkungan hidup wilayah perkotaan.
Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang tata ruang yang berlaku untuk daerah perkotaan , pengaturan penggunaan lahan daerah secara umum dilakukan melalui penyusunan dan penetapan rencana Ruang Wilayah (RTRW). Termasuk dalam RTRW ini adalah penentuan zoning yang juga dapat digunakan sebagai alatuntuk pengaturan tata ruang.
Dokumen RTRW ini pada dasarnya berisikan tiga hal pokok, yaitu :
  • Tujuan pemanfaatan ruang
  • Struktur dan pola pemanfaatan ruang
  • Pola pengendalian pemanfaatan ruang
RTRW ini ditetapkan dengan Peratran Daerah bersangkutan atau kota setempat sehingga ketentuan di dalmnya bersift mengikat dan mempunyai implikasi hukum bila dilanggar.
Disamping RTRW yang bersifat umum, pemerintah kota juga diwajibkan oleh Undang-Undang untuk menyusun Rencana Detail Tata Ruang Kota  (RDTRK) yang lebih bersifat Rinci mencakup seluruh cabang jalan pada kota bersangkutan. Bahkan selanjutnya pemerintah kota juga diwajibkan pula menyusun Rencana Teknik Ruang Kota (RTRK) yang sangat rinci dan bersifat teknis yang sekaligus dapat menggambarkan lahan yang telah dipergunakaan untuk masing-masing kegiatan. Dengan adanya ketiga dokumen perencanaan ruang tersebut akan dapat dilakukan pengaturan dan pengawasan penggunaan lahan daerah perkotaan secaraa terarah.
Untuk dapat melakukan pengendalian dan pengawaasan pelaksanaan rencana tata ruang wilayah tersebut , undang undang memberikan kewenangan kepada pemerintah kota untuk melakukan pemberian sertifikat tanaah yang dikelola oleh Dinas Pertanahan kota tersebut.
Disaamping itu, pemerintah kota juga diberikan kewenangan untuk membrikan Izin Mendirikan Bangunan  (IMB) yang berfungsi baik sebagai pengendaalian, maupununtuk penembahan pemasukan dana keuangan kota. Dengan demikian, warga masyarakaat yang ingin memnfaatkan sebidang tanah untuk mendirikan bangunan harus memilki dua surat izin yaitu sertifikat tanah dan IMB.pelanggaraan terhadap itu dapat diberikan sanksi dalam bentuk penundaan pemberiaan izin atau pembongkaran bangunan bila konstruksi sudah selesai dilakukan.
Namun demikian, kenyataaan menunjukkan bahwa samapai saat ini ketentuan tersebut di Indonesia banyak yang dilanggar sehinggar pengaturan tata ruang kota menjadi tidak dapt dilaksanakan secara baik. Hal ini terjadi karena  pemahaman masyarakat tentang perlunya tat ruang kota masih kurang. Masyarakat umumnya menganggap bahwa keharusan mendapatkan IMB tersebut hanyalah alat pemerintah untuk memungut uang untuk menambah pendapatan pemerintahkota saja.
Disamping itu , budaya korupsi yang masih sangat kuat dalam masyarakat ikut pula memicu sulitnya dilakukan pengendalaian tersebut. Karena pelanggaran dengan mudah dilakukan oleh pemilik bangunan dengan memberikan sejumlah uang kepada aparat pemerintah kota yang berwenang dalam pemberian izin tersebut.
Akibat dari kondisi yang demikian , pengaturan tata ruang wilayaah perkotaan yang terdapat di Indonesia dewasa ini umunya belum tertata dengan baik bahkan dapat dikatakan semrawut. Kondisi ini selanjutnya akan cenderung pula menyebabkan tidak seimbangnya penggunaan lahan untuk masing-masing kegiatan ekonomi kota yang selanjutnya akan cenderung mengakibatkanterjadinya ketidak efisiensian penggunaan lahan perkotaan , kemacetan lalu lintas, serta banyaknya daerah kumuh  dan kurangnya keindahan kota . Kondisi tersebut selanjutnya akan menyebabkan pula kebersihan daan kenyamanan kota serta kualitas lingkungan hidup yang baik menjadi sukar untuk dapat terus dijaga. Kesemuanya ini akan menyebabkan berkurangnya kenyamanan masyarakat untuk tinggal di daerah perkotaan yang bersangkutan.

0 Komentar:

Komen disini ya :)