Pada zaman dahulu kala, di sebuah kampung antah berantah,
hiduplah
sepasang suami istri. Mereka merupakan sebuah keluarga yang sangat miskin.
Rumahnya dari pelepah daun rumbia yang didirikan seperti pagar sangkar puyuh.
Atap rumah mereka dari daun rumbia yang dianyam. Tidak ada lantai semen atau
papan di rumah tersebut, kecuali tanah yang diratakan dan dipadatkan. Di sana
tikar anyaman daun pandan digelar untuk tempat duduk dan istirahat keluarga
tersebut.
Demikianlah miskinnya keluarga itu.
Rumah mereka pun jauh dari pasar dan keramaian. Namun demikian, suami-istri yang usianya
sudah setengah abad itu sangat rajin beribadah.
“Istriku,” kata sang suami suatu
malam. “Sebenarnya apakah kesalahan kita sehingga sudah di usia begini tua,
kita belum juga dianugerahkan seorang anak pun. Padahal, aku tak pernah
menyakiti orang, tak pernah berbuat jahat kepada orang, tak pernah mencuri
walaupun kita kadang tak ada beras untuk tanak.”
“Entahlah, suamiku. Kau kan tahu,
aku juga selalu beribadah dan memohon kepada Tuhan agar nasib kita ini dapat
berubah. Jangankan harta, anak pun kita tak punya. Apa Tuhan terlalu membenci
kita karena kita miskin?” keluh sang istri pula. Matanya bercahaya di bawah
sinar lampu panyot tanda berusaha menahan tangis.
Malam itu, seusai tahajud,
suami-istri tersebut kembali berdoa kepada Tuhan. Keduanya memohon agar
dianugerahkan seorang anak. Tanpa sadar, mulut sang suami mengucapkan sumpah,
“Kalau aku diberi anak, sebesar cabe rawit pun anak itu akan kurawat dengan
kasih sayang.” Entah sadar atau tidak pula, si istri pun mengamini doa
suaminya.
Beberapa minggu kemudian, si istri
mulai merasakan sakit diperutnya. Keduanya tak pernah curiga kalau sakit yang
dialami si istri adalah sakit orang mengandung. Tak ada ciri-ciri kalau perut
istri sedang mengandung. Si istri hanya merasa sakit dalam perut. Sesekali, ia
memang merasakan mual.
Waktu terus berjalan. Bulan berganti
bulan, pada suatu subuh yang dingin, si istri merasakan sakit dalam perutnya
teramat sangat. Bukan main gelisahnya kedua suami-istri tersebut. Hendak pergi
berobat, tak tahu harus pergi ke mana dan pakai apa. Tak ada sepeserpun uang
tersimpan. Namun, kegelisahan itu tiba-tiba berubah suka tatkala ternyata
istrinya melahirkan seorang anak. Senyum sejenak mengambang di wajah keduanya.
Akan tetapi, betapa terkejutnya suami-istri itu, ternyata tubuh anak yang baru
saja lahir sangat kecil, sebesar cabe rawit.
“Sudahlah istriku, betapa pun dan
bagaimana pun keadaannya, anak ini adalah anak kita. Ingatkah kau setahun lalu,
saat kita berdoa bersama bahwa kita bersedia merawat anak kita kelak kalau
memang Tuhan berkenan, walaupun sebesar cabe rawit?” hibur sang suami. Keduanya
lalu tersenyum kembali dan menyadari sudah menjadi ibu dan ayah.
Singkat cerita, si anak pun
dipelihara hingga besar. Anak itu perempuan. Kendati sudah berumur remaja,
tubuh anak itu tetap kecil, seperti cabe rawit. Demi kehidupan keluarganya,
sang ayah bekerja mengambil upah di pasar. Ia membantu mengangkut dagangan
orang untuk mendapatkan sedikit bekal makanan yang akan mereka nikmati bersama.
Sahdan, suatu ketika si ayah jatuh
sakit, tak lama kemudian meninggal dunia. Sedangkan si ibu, tubuhnya mulai lemas
dimakan usia. Bertambahlah duka di keluarga itu sejak kehilangan sang ayah.
Kerja si ibu pun hanya menangis. Tak tahan melihat keadaan orangtuanya, si anak
yang diberi nama cabe rawit karena tubuhnya memang kecil seperti cabe, berkata
pada ibunnya, “Ibu aku akan ke pasar. Aku akan bekerja menggantikan ayah.”
“Jangan anakku, nanti kalau kau
terpijak orang, bagaimana? Ibu tak mau terjadi apa-apa pada dirimu,” sahut
ibunya.
“Sudahlah, Ibu, yakinlah aku tak kan
apa-apa. Aku pasti bisa. Aku kan sudah besar.”
“Anakku, kau satu-satunya harta yang
tersisa di rumah ini. Kau satu-satunya milik ibu sekarang. Ibu tak mau
kehilangan dirimu,” kata ibu lagi.
“Aku akan mencoba dahulu, Bu. Dengan
doa ibu, yakinlah kalau aku tidak akan apa-apa. Nanti, kalau memang aku tidak
bisa bekerja, aku akan pulang. Tapi, izinkan aku mencobanya dahulu, Ibu,” bujuk
cabe rawit berusaha meyakinkan ibunya.
Cabai rawit terus mendesak ibunya
agar diizinkan bekerja ke pasar. Sahdan, sang ibu pun akhirnya memberikan izin
kepada cabe rawit. Maka pergilah cabe rawit ke pasar tanpa bekal apa pun.
Belum sampai ke pasar, di perempatan
jalan, melintaslah seorang pedagang pisang. Raga pisang pedagang itu nyaris
saja menyentuh cabe rawit. “Mugè pisang, mugè pisang, hati-hati, jangan sampai
raga pisangmu menghimpit tubuhku yang kecil ini,” kata cabe rawit.
Spontan pedagang pisang menghentikan
langkahnya. Ia melihat ke belakang, lalu ke samping, tapi tak dilihatnya
seorang pun manusia.
“Mugè pisang, mugè pisang,
hati-hati, jangan sampai raga pisangmu menghimpit tubuhku yang kecil ini.”
Terdengar kembali suara serupa di telinga pedagang pisang. Ia kembali melihat
ke belakang dan ke samping. Tapi, tetap tak ditemukannya sesosok manusia pun.
Sampai tiga kali ia mendengar suara dan kalimat yang sama, mugè pisang merasa
ketakutan. Akhirnya, dia berlari meninggalkan pisang dagangannya. Ia mengira
ada makhluk halus. Padahal, si cabe rawit yang sedang bicara. Karena tubuhnya
yang mungil, pedagang pisang itu tidak melihat keberadaan cabe rawit di sana.
Sepeninggalan mugè pisang, pulanglah
cabe rawit membawa pisang yang sudah ditinggalkan mugè itu. Sesampainya di
rumah, si ibu heran melihat anaknya membawa pisang. “Darimana kau dapatkan
pisang-pisang ini, Rawit?” tanya si ibu.
Cabe rawit menceritakan kejadian di
jalan sebelum ia sempat sampai ke pasar. “Daripada diambil orang atau dimakan
kambing, aku bawa pulang saja pisang-pisang ini, Bu,” katanya.
Keesokan harinya, si cabe rawit
kembali minta izn untuk ke pasar. Namun, di tengah jalan, lewatlah pedagang
beras dengan sepedanya. Ketika pedagang beras nyaris mendahului si cabe rawit,
ia mendengar sebuah suara. “Hati-hati sedikit pedagang beras, jangan sampai ban
sepedamu menggilas tubuhku yang kecil ini. Ibuku pasti menangis nanti,” kata suara itu.
Berhentilah pedagang beras tersebut
karena terkejut. Ia melihat ke sekeliling, tapi tak didapatinya seorang manusia
pun. Sementara suara itu kembali terdengar. Setelah mendengar suara tersebut
berulang-ulang, akhirnya pedagang beras lari pontang-panting ketakutan. Ia mengira
ada makhluk halus yang sedang mengintainya. Padahal, itu suara cabe rawit yang
tidak kelihatan karena tubuhnya yang teramat mungil.
Sepeninggalan pedagang beras, cabe
rawit pulang sambil membawa sedikit beras yang sudah ditinggalkan oleh pedagang
tersebut. Sesampainya di rumah, si ibu kembali bertanya. “Tadi, di jalan aku
bertemu dengan pedagang beras, Bu. Dia tiba-tiba meninggalkan berasnya begitu
saja. Daripada diambil orang lain atau dimakan burung, kuambi sedikit, kubawa
pulang untuk kita makan. Bukankah kita sudah tidak memiliki beras lagi?” jawab
cabe rawit.
Keesokan harinya, hal serupa kembali
terjadi. Ketika cabe rawit hendak ke pasar, di pertengahan jalan, ia bertemu
dengan pedagang ikan. Pedagang ikan itu juga ketakutan saat mendengar ada suara
yang menyapanya. Ia lari lintang pukang meninggalkan ikan-ikan dagangannya.
Maka pulanglah cabe rawit sembari membawa beberapa ikan semampu ia papah. “Tadi
pedagang ikan itu tiba-tiba lari meninggalkan ikan-ikannya. Kita kan sudah lama
tidak makan ikan. Aku bawa pulang saja ikan-ikan ini sedikit daripada habis
dimakan kucing,” kata cabe rawit kepada ibunya saa sang ibu bertanya darimana
ia mendapatkan ikan.
Begitulah hari-hari dilalui cabe
rawit. Ia tidak pernah sampai ke pasar. Selalu saja, di perempatan atau
pertengahan jalan, dia berpapasan dengan para pedagang. Hatta, keluarga yang
dulunya miskin dan jarang makan enak itu menjadi hidup berlimpah harta.
Pedagang beras akan meninggalkan berasnya di jalan saat mendengar suara cabe
rawit. Pedagang pakaian meninggalkan pakaian dagangannya, pedagang emas pun
pernah melakukan hal itu. Heranlah orang-orang sekampung melihat si janda
miskin menjadi hidup bergelimang harta.
Orang-orang kampung pun mulai
curiga. Didatangilah rumah janda miskin tersebut. “Bagaimana mungkin kau
tiba-tiba hidup menjadi kaya sedangkan kami semua tahu, kau tidak memiliki
siapa-siapa. Suami pun sudah meniggal,” kata kepala kampung.
Si janda hanya diam. Kepala kampung
mengulangi pertanyaanya lagi. Namun, di janda tetap bungkam. Karena kepala
kampung dan orang-orang kampung di rumah itu sudah mulai marah, terdengarlan
suara dari balik pintu. “Tolong jangan ganggu ibuku. Kalau kepala kampung mau
marah, marahilah aku. Kalau kepala kampung mau memukul, pukullah aku,” kata
suara tersebut.
Kepala kampung dan orang-orang yang
ada di rumah tersebut terkejut mendengar suara itu. Beberapa kali suara itu
terdengar dari arah yang sama, dari belakang pintu. Salah seorang penduduk
melihat ke sebalik pintu. Namun, tak dijumpainya seorang pun di sana. Sedangkan
saat itu, suara yang sama kembali terdengar. “Kalau kalian mau marah, marahilah
aku. Kalau kalian mau memukul, pukullah aku,” kata suara itu yang tak lain dan
tak bukan adalah milik cabe rawit.
Singkat cerita, ketahuan juga bahwa
suara itu dari seorang manusia yang sangat kecil, sebesar cabe. Suasana berubah
menjadi tegang. Si janda menjelaskan semuanya. Ia menceritakan tentang sumpah
yang pernah ia lafalkan dengan sang suami tentang keinginan punya anak walau
sebesar cabe pun. Mahfumlah kepala kampung dan penduduk di sana. Akhirnya, para
penduduk sepakat membangun sebuah rumah lebih bagus untuk di janda bersama
anaknya. Hidup makmurlah keluarga cabe rawit. Ia tidak lagi harus pergi ke
pasar sehingga membuat orang-orang takut. Akan tetapi, setiap penduduk berkenan
memberikan keluarga cabe rawit apa pun setiap hari. Ada yang memberikan beras,
garam, pakaian, dan sebagainya.
0 Komentar:
Komen disini ya :)