Sanggar Latifa
Karya : Anna Berkarya
“Kak Ana…”
Seorang gadis
cilik berbaju biru yang tengah memakai selendang ungu memanggilku. Dia bernama
Shinta, muridku di Sanggar Latifa ini. Ya, aku adalah seorang pelatih tari
jawa, sekaligus orang yang mendirikan Sanggar ini. Tak luput dari bantuan
temanku, Latifa.
“Ya Shinta, ada
apa?” ucapku sambil menghampirinya dan membantunya memakai selendang.
“Kak, boleh aku
tanya sesuatu sama kakak?” tanya Shinta dengan wajah polosnya.
“Tentu saja,
kamu mau tanya apa sayang?” jawabku sambil membelai rambutnya.
“Kenapa Sanggar
ini diberi nama Sanggar Latifa kak? Bukankah Sanggar ini milik kakak? Terus,
Latifa itu siapa kak?” cerocos Shinta sangat penasaran.
Deg…entah mengapa
jantungku seperti serasa ditusuk oleh ribuan jarum. Mendengar nama Latifa
disebut, aku tak kuasa menahan tangisku.
Ingatanku
menerawangg pada 5 tahun yang lalu…
*****
Latifa Dyan Sinamba, murid pindahan dari Batak. Dia memiliki paras yang cantik
dan menawan. Ibunya keturunan Arab, dan ayahnya dari Batak. Latifa sangat
pendiam dan wajahnya terlihat sangat murung. Sekarang Latifa adalah teman
sebangku ku. Kami bersekolah di sebuah SMA negeri di kota Solo. Dan saat ini
kami sedang duduk di kelas dua.
Akhir-akhir ini, saat pulang sekolah, ia selalu terburu-buru. Ketika ku
tanyakan penyebabnya, ia selalu mengelak. Latifa sangat tertutup denganku
meskipun aku selalu berusaha menjadi sahabat yang baik untuknya. Hal ini
terjadi berulang-ulang kali. Karena penasaran, aku mengikuti Latifa dari
belakang saat pulang sekolah. Aku terkejut ketika Latifa masuk ke sebuah
sanggar tari jawa. Aku menunggunya hingga ia selesai. Setelah ia keluar dari
sanggar, aku menghampirinya.
“Latifa…kamu
belajar tari jawa?” tanyaku dengan keras.
Latifa
menengokke kanan dan kiri dengan cemas. Aku semakin bingung dengan tingkah
Latifa.
“Sssstt..kamu
kalau ngomong jangan keras-keras dong?” ucap Latifa setengah berbisik.
“Sebenarnya ada
apa sih Fa?” tanyaku semakin penasaran.
“Oke, aku akan
menceritakan semua sama kamu, tapi kamu janji ya jangan bilang hali ini sama
orang tuaku.” Pinta Latifa dengan wajah memelas.
“Jadi, orang tua
kamu enggak tau tentang hali ini?” tanyaku lagi.
“Huuufh..iya An,
aku tidak pernah bilang orang tuaku kalau aku ikut sanggar tari. Orang tuaku
tidak pernah setuju jika aku menjadi penari tradisional. Ayahku selalu
menentangku. Ayahku bilang bahwa menjadi penari tradisional itu tidak mempunyai
masa depan.” Jawab Latifa sedih.
Dari sinilah aku
mulai kagum pada pendiriannya untuk tetap menekuni seni daerah meskipun
ditentang oleh orang tuanya.
*****
Hari-hari berikutnya, Latifa mulai terbuka kepadaku. Dia banyak bercerita
tentang kecintaanya pada tari jawa. Dari situlah aku mulai mengenal seluk beluk
tari tradisional yang mulai menumbuhkan minatku.
“Ana, tahukah
kamu, sekarang minat remaja pada tari daerah mulai memudar seriring dengan
berjalannya waktu.” Kata Latifa pada suatu hari sepulang sekolah.
“Ya, kamu benar.
Mereka lebih suka tari modern daripada tari tradisional.” Ucapku.
“Padahal, tari
jawa mempunyai daya tarik khusus lho?” kata Latifa meyakinkan.
“Benarkah? Apa
itu?” tanyaku.
“Jika kita belajar
tari jawa, kita bisa melatih kesabaran dan emosi jiwa kita. Tari jawa sering
disebut dengan ‘beksa’ yang artinya esa/satu. Maksudnya, orang yang tengah
menari jawa haruslah benar-benar menuju suatu tujuan, yaitu
menyatukan/meluluhkan jiwanya dalam setiap gerakan tari. Sehingga tercipta
gerakan tari yang indah dan selaras dengan gending gamelan. Jadi, menari itu
membutuhkan konsentrasi yang tinggi dan bisa mengasah otak kita.” Jelas Latifa
panjang lebar.
“Latifa, kamu
hebat. Padahal kamu bukan asli orang jawa, tetapi kamu tau jauh lebih banyak
daripada aku.” Pujiku.
“Ana..Ana..
kalau kita mau menekuni tari jawa, enggak harus asli orang jawa kan? Kamu tahu
Sulistyo, dia adalah penari jawa yang terkenal. Salah satu murid terbaiknya itu
berasal dari Jepang yang bernama Michi Tomioka.” Lanjut Latifa.
*****
Tak terasa satu tahun berlalu, kami sering menghabiskan waktu bersama. Aku pun
mulai rajin berlatih tari jawa di sanggar bersama Latifa. Pada pertengahan
kelas tiga, aku mulai mengurangi frekuensi berlatihku di sanggar tersebut
karena ingin fokus pada ujian. Tapi tidak dengan Latifa, hampir setiap hari
sepulang sekolah ia berada di sanggar tersebut, sampai akhirnya malapetakapun
datang….
Aku terbangun
dari tidurku karena terkejut mendengar pintu rumahku yang diketuk dengan keras.
Kulihat jam weker menunjukkan pukul 01.00 WIB. Siapa yang bertamu malam-malam
begini, pikirku.
“Ana, tolong
aku.” Aku kaget setengah mati melihat wajah latifa. Mukanya memar dan berwarna
biru. Air mata membanjiri di sudut matanya. Kulihat ia juga membawa koper
besar.
“Latifa? Apa
yang terjadi? Kataku setengah berteriak karena panik melihat keadaannya. Orang
tuaku pun ikut terbangun karenanya.
Latifa hanya
diam dan terus menangis, ia benar-benar merasa ketakutan. Lalu kupeluk dia
erat-erat, aku ikut menangis merasakan penderitaanya. Aku membawanya ke
kamarku. Ku obati lukanya dan menyuruhnya untuk beristirahat. Saat itulah ia
bercerita bahwa Ayahnya memergoki ia sedang berada di sanggar. Ayahnya sangat
marah dan memukulinya. Aku berbicara pada orang tua ku tentang masalah Latifa.
Orang tuaku memakluminya dan mengijinkan Latifa tinggal disini untuk sementara
waktu.
*****
Pada pukul 05.00 WIB, lagi-lagi kami dikejutkan oleh suara pintu yang
diketuk sangat keras. Ayahku yang terbangun duluan untuk membukakannnya. Aku
mengikutinya di belakang, dan Latifa berjalan disampingku. Setelah pintu
dibuka, berdirilah sesosok Pria berbadan tegap dengan raut wajah yang murka.
Ya, dia adalah Harun Sinamba, ayah Latifa.
“Oh, jadi disini
kamu bersembunyi! Ayo pulang! Bikin malu keluarga!” bentak Pak Harun.
“Aku tidak mau
pulang!” kata Latifa sambil bersembunyi di belakangku.
Pak Harun langsung menerobos masuk kerumahku dan menarik paksa tangan
Latifa. Ayahku mencoba menenangkan amarah Pak Harun, tatapi dia justru
mendorong Ayahku hingga jatuh. Aku dan ibu membantu Ayah berdiri. Pak Harun
menyeret Latifa ke mobilnya. Aku berusaha mengejar Latifa, tetapi Ayah
menghalanginya.
“Ini bukan
urusan kita Ana, biarkan mereka sendiri yang menyelesaikannya.” Kata beliau
bijak.
Ya Allah, semoga
tidak terjadi apa-apa dengan temanku, Latifa.
*****
Setelah kejadian tadi malam, aku tidak pernah bertemu dengan Latifa. Sudah 1
minggu lebih dia tidak berangkat, saat aku berkunjung ke rumahnya, pembantunya
bilang dia sedang pergi bersama Ayahnya. Aku semakin khawatir dengan latifa,
padahal seminggu lagi kami akan mengikuti UAN. Aku tidak kehabisan akal,
besoknya lagi aku menemui guru TU (Tata Usaha) untuk menanyakan perihal Latifa.
Ternyata di dalam buku, Latifa sudah tercatat pindah sekolah. Aku lemas
seketika.
*****
Beberapa bulan
kemudian…
Aku berhasil
mengikuti tes SNMPTN, akhirnya aku diterima di sebuah Universitas Negeri di
Solo dengan jurusan sastra Inggris.
Ketika sedang
beristirahat di taman rumahku, aku dikagetkan dengan datangnya pos surat. Aku
berdiri mematung ketika kulihat sebuah nama pengirim yang tertera dalam surat
tersebut. LATIFA. Aku menitikan air mata haru, segera ku buka surat tersebut.
Dear Ana….
Hidupku bagai burung dalam sangkar berjeruji besi.
Meskipun mempunyai sayap, aku tak mampu mengepakkannya.
Aku rindu akan hangatnya mentari yang slalu
menyinariku setiap pagi.
Aku tak ubahnya katak yang terperangkap dalam
tempurung. Gelap, sunyi, bahkan untuk bernafaspun aku sesak. Aku ingin seperti
ombak bebas yang menari di luasnya lautan.andai bintang yang pekat itu dapat
bersinar lagi…
Aku menangis
membaca sepenggal surat dari Latifa. Aku bisa merasakannya. Dia benar-benar
tersiksa dengan kehidupannya. Aku meneruskan membaca surat Latifa.
Ana, kudengar kamu berhasil masuk ke fakultas sastra
inggris. Selamat ya, aku bangga padamu. Sekarang aku berada di Jakarta. Ayahku
memaksaku untuk masuk ke fakultas kedokteran. Sebenarnya aku sangat tersiksa.
Ana, aku membeli sebuah rumah di solo, aku mohon dirikanlah sebuah sanggar tari
di rumah itu. Jadilah pelatih tari jawa untuk semua orang yang berminat pada
tari jawa. Aku mohon, wujudkanlah cita-cita yang tak mampu ku wujudkan sendiri.
Terima kasih atas kebaikanmu selama ini.
Latifa Sinamba
Aku kembali
meneteskan air mata. ternyata selama ini dia masih memikirkan nasib tari jawa.
Bebrapa hari
kemudian, aku pergi ke alamat rumah yang sudah dibeli oleh Latifa. Letaknya
tidak terlalu jauh dari kampusku. Aku bisa bekerja di sanggar setelah pulang
dari kampus. Setelah mengatur dekorasi sedemikian rupa, akhirnya aku meresmikan
sanggarku yang ku beri nama “Sanggar Latifa”. Agar aku selalu teringat
perjuangan Latifa selama ini.
*****
Sanggarku mulai ramai dipenuhi anak-anak SD yang ingin berlatih tari jawa,
diantaranya adapula remaja-remaja yang berlatih disini. Karena banyaknya murid,
aku mempekerjakan para remaja yang sudah mahir untuk membantuku. Latifa pasti
akan senang mendengar perkembangan ini. Aku menelpon Latifa untuk
memberitahunya, dia senang tapi suaranya terdengar sangat frustasi. Akhirnya ia
bercerita bahwa ia akan dijodohkan dengan pemuda pilihan Ayahnya yang tidak ia kenal.
Aku berusaha memberikan ia motivasi untuk tetap sabar dan kuat. Tetapi ia
justru menangis dan menutup telepon dariku. Sejak saat itu, Latifa tidak dapat
dihubungi lagi. Aku menjadi cemas.
*****
Setelah berbulan-bulan tidak mendengar kabar dari Latifa, aku memutuskan untuk
menemuinya di Jakarta. Aku ditemani saudara laki-lakiku Eric. Ayahku yang baik
hati rela meminjamkan mobilnya pada kami agar disana kami tidak mengalami
kesulitan.
Sesampainya di
Jakarta, aku dan Eric mencari rumah Latifa. Setelah seharian kami mencari
alamat Latifa, akhirnya kami menemukannya. Saat tiba di rumah Latifa, hari
sudah sore. Akupun mengetuk pintu rumahnya.
“Assalamualaikum.”
Ucapku.
“Waalaikum
salam.” Jawab seseorang.
Begitu pintu
dibuka, aku melihat Pak Harun. Dia berdiri tegang. Sepertinya kaget akan
kehadiranku yang tiba-tiba. Aku berfikir, dia akan mengusirku. Tetapi…
“Ana, sudah lama
sekali Latifa tidak bertemu denganmu. Dia sangat merindukanmu. Bapak
benar-benar merasa bersalah atas keadaannya.” Kata Pak Harun sambil memelukku.
Dia menangis. Aku benar-benar bingung. Sebenarnya apa yang terjadi dengan
Latifa? Kenapa dia merasa bersalah atas keadaannya? Oh, Latifa apa lagi yang
sedang menimpamu?
*****
Aku masih terpaku pada sosok wanita di depanku. Dia memakai baju biru, seragam
dengan kawan-kawannya. Rambutnya tergerai tak beraturan. Badannya kurus kering.
Ia meracau sendiri. Kadang ia berteriak, kadang ia menangis. Aku mendekatinya.
Kebelai rambutnya perlahan. Aku tak kuasa membendung tangisku. Aku memeluknya,
tetapi wanita itu meronta ingin melepasnya. Aku didorongnya hingga terjatuh.
Pak Harun dan Eric membantuku berdiri. Aku segera berlari dari ruangan tersebut
sambil bercucuran air mata. Aku tak pernah berfikir, ketika Pak Harun bilang
akan membawaku ke tempat tinggal Latifa. Aku tak menyangka ternyata disini
Latifa tinggal. Di sebuah rumah sakit jiwa. Dan wanita yang tadi kutemui adalah
Latifa Sinamba, sahabatku yang sangat kusayangi.
*****
“Kak Ana?” kata
gadis kecil yang dari tadi menungguku berbicara. Aku tersadar dari
lamunanku.
“Eh.. iya
Shinta, maaf kakak melamun. Jadi, kamu mau tahu siapa Latifa?” kataku
“Tentu saja
kak.” Jawab Shinta penasaran.
“Latifa adalah
seorang wanita yang berjuang untuk mewujudkan mimpinya. Mimpi seorang Latifa
hanyalah mimpi yang sederhana. Ia ingin menghidupkan suatu budaya yang semakin
rapuh seiring berjalannya waktu. Meskipun akhirnya ia harus menyerah akan
tangguhnya batu yang menghalanginya untuk berpijak. Namun, ia telah membuka
mata hati bagi orang-orang di sekelilingnya, bahwa terkadang hidup tak sesuai
dengan apa yang kita impikan. Dan kehendak yang terlalu dipaksakan akan berbuah
menyakitkan.”
0 Komentar:
Komen disini ya :)