Al Wahhab adalah salah satu sifat Allah yang memiliki Arti Maha Pemberi Karunia. Al Wahhab adalah salah satu sifat Allah yang memiliki Arti Maha Pemberi Karunia. Karunia merupakan hadiah yang bebas dari imbalan dan kepentingan.
Makna lafazh 'Al Wahhab' menekankan bahwa pada hakikatnya tidak mungkin tergambar dalam benak, mengenai adanya yang memberi, siapapun yang membutuhkannya tanpa mengharapkan imbalan atau tujuan duniawi atau ukhrawi, kecuali Allah SWT. Karena siapa yang memberi disertai dengan tujuan duniawi atau ukhrawi, baik tujuan itu berupa pujian, meraih persahabatan, menghindari celaan atau mendapatkan kehormatan, dia bukanlah 'Wahhab'. Makhluk tidak mungkin memberi secara berkesinambungan sedang Allah dapat memberi secara berkesinambungan dan tanpa batas.
Makna lafazh 'Al Wahhab' menekankan bahwa pada hakikatnya tidak mungkin tergambar dalam benak, mengenai adanya yang memberi, siapapun yang membutuhkannya tanpa mengharapkan imbalan atau tujuan duniawi atau ukhrawi, kecuali Allah SWT. Karena siapa yang memberi disertai dengan tujuan duniawi atau ukhrawi, baik tujuan itu berupa pujian, meraih persahabatan, menghindari celaan atau mendapatkan kehormatan, dia bukanlah 'Wahhab'. Makhluk tidak mungkin memberi secara berkesinambungan sedang Allah dapat memberi secara berkesinambungan dan tanpa batas.
Al-Qur’an menyebut al-Wahhab semua menunjuk kepada sifat Allah. Dari tiga ayat itu, hanya satu yang dirangkai dengan nama Allah yang lain, yaitu Al-Aziz (Maha Perkasa) sebagaimana yang terdapat dalam surat Shaad ayat 9, sedangkan dua lainnya berdiri sendiri. Al-Wahhab merupakan Asma Allah yang berarti Maha Memberi. Dia memberikan rahmat kepada makhlukNya tanpa pamrih, karena Dia tak membutuhkan apapun kepada makhlukNya.
Keagungan dan kebesaranNya tak berkurang sedikitpun juga jika sekiranya semua manusia ingkar kepadaNya. Demikian juga sebaliknya, kewibawaan dan kemuliaanNya tak bertambah sedikitpun juga jika sekirinya semua manusia tunduk patuh kepadaNya. Dia tak membutuhkan ucapan terima kasih, tak juga tepuk tangan atas semua kebaikanNya.
Tak sekadar bebas dari pamrih, Dia juga senantiasa memenuhi kebutuhan makhlukNya tanpa diminta. Dia memberikan udara segar setiap hari walaupun kebanyakan manusia tidak memintanya. Dia juga menurunkan hujan, walaupun manusia tidak berdoa untuknya. Sinar matahari dicurahkan setiap hari, walaupun banyak manusia tidak menyadarinya. Siapakah yang menyediakan air, udara, dan energi ? Tanpa diminta, Allah telah menyiapkannya.
Hanya Dia yang pantas menyandang nama Al-Wahhab, sebab semua manusia senantiasa mengharapkan imbalan ketika bekerja, apalagi ketika memberi sesuatu kepada sesamanya. Ada tujuan yang ingin diraih di balik kerja kerasnya, baik yang bersifat materi maupun yang berbentuk spiritual, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi.
Itulah sebabnya, ketika al-Ghazali menjelaskan tentang Al-Wahhab, ia berkomentar bahwa hanya Allah saja yang patut menyandang sifat itu. Ia berkata, pada hakekatnya tidak ada pemberian tanpa tujuan dan harapan, kecuali Allah Subhanahu Wata'ala Setiap manusia pasti berpengharapan atas semua perbuatannya, baik dalam bentuk pujian, meraih persahabatan, mendapatkan kehormatan, atau paling tidak menghindari celaan.
Seseorang ‘abid yang senantiasa melazimkan ibadah juga tak lepas dari pamrih untuk mendapatkan surga atau terhindar dari neraka. Bahkan seorang alim yang beribadah demi meraih cinta dan syukur kepadaNya belum sepenuhnya terhindar dari tujuan-tujuan atau harapan meraih imbalan. Itulah sebabnya, Allah tetap memberi toleransi kepada manusia sepanjang mereka tetap dalam koridor ibadah yang ikhlas semata karena Allah SWT. Dia membolehkan manusia beribadah karena mengharapkan surgaNya atau terhindar dari nerakaNya, karena memang hanya sampai di situ batas kemampuan manusia.
Hanya Allah saja yang bisa memberi tanpa pamrih, sebab hanya Dia yang tidak membutuhkan apapun dari makhlukNya. Karenanya, hanya Dialah yang pantas menyandang nama Al-Wahhab, Maha Pemberi tanpa mengharap Puji, Maha Pemberi tanpa pamrih, Maha Pemberi tanpa menagih.
Walaupun demikian, kita bisa meneladani sifat mulia itu sebatas kemampuan kita sebagai makhlukNya. Dalam hal ini kita bisa meminimalkan harapan atau pamrih kita, paling tidak, ketika kita memberikan sesuatu, janganlah kita berharap mendapatkan imbalan yang berlebihan, yang demikian itu disebut riba, sebagaimana firmanNya :
“Apa yang kamu berikan dari riba supaya bertambah banyak harta manusia, maka tidaklah bertambah banyak di sisi Allah”. (QS. Ar-Ruum: 39).
Itulah sebabnya, sejak awal, ketika Rasulullah menerima wahyu yang ketiga, Allah sudah mengingatkan: “Jangan memberi dengan mengharap imbalan yang lebih banyak”. (QS. Al-Muddatstsir: 6)
Dalam prakteknya, kita boleh saja menanti ucapan terimakasih dari orang yang kita beri, tapi mengabaikannya jauh lebih mulia dan derajatnya lebih tinggi, sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih”. (QS. Al-Insaan: 9)
Nilai-nilai yang tercermin dari Al-Wahhab itu sangat penting diterapkan oleh para pemimpin. Setiap pemimpin haruslah memiliki sifat pemurah, suka memberi kepada bawahannya. Seorang pemimpin yang pelit pasti tidak disukai anak buahnya. Sebaliknya, pemimpin yang murah hati dan suka memberi pasti mendapatkan simpati, disukai, dan dicintai rakyatnya.
Source : http://asmaul-husna-gambar.blogspot.co.id/
0 Komentar:
Komen disini ya :)