Perkembangan Industri Telekomunikasi Seluler Di Indonesia Tahun 2011

Perkembangan Industri Telekomunikasi Seluler Di Indonesia Tahun 2011



Current issue

Industri telepon seluler berkembang pesat di Indonesia sejak 15 tahun lalu, ini terlihat dari jumlah pelanggan telepon seluler yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Indonesia  tercatat menempati posisi keempat di Asia setelah Korea Selatan, China dan Jepang. 

Saat ini di Indonesia beroperasi 7 operator seluler dengan teknologi GSM (Global System for Mobile) dan lainnya ada 4 operator CDMA (Code Division Multiple Access). Menurut data Dirjen Postel, dalam periode 2006-2010 pertumbuhan rata-rata per tahun pengguna seluler di Indonesia adalah 31,9% per tahun. Hingga akhir 2010  jumlah pelanggan selular mencapai 211 juta, dimana operator GSM mendominasi 95% pasar selular, sisanya merupakan pasar CDMA  5%. Sedangkan skema pembayaran selular didominasi pra-bayar (94%) dan sisanya 6% pasca-bayar.

Telkomsel sebagai pemimpin pasar,  pelanggannya sudah mencapai 94 juta pada 2010 dengan pangsa pasar sekitar 44,5%. Saat ini jangkauan telepon seluler sudah merambah hingga ke daerah terpencil. Sejak 2008 Telkomsel sebagai operator seluler telah berhasil menjangkau 100% seluruh kecamatan di Indonesia.

Pertumbuhan pengguna telepon seluler di Indonesia cukup pesat, hal ini ditandai dengan tingkat penetrasi seluler yang semakin besar. Dengan populasi 230 juta penduduk, teledensitas di Indonesia untuk telepon seluler saat ini sekitar 91,7%, sementara negara ASEAN lainnya lebih tinggi, misalnya Singapura mencapai 100%.

Pesatnya perkembangan bisnis seluler ini menarik investor asing masuk ke Indonesia, beberapa operator dari kawasan Asia seperti Singapore Telecommunication Ltd (SingTel), Axiata Group Berhad (sebelumnya bernama Telekom Malaysia)  serta Maxis Communication Bhd dari Malaysia  telah menancapkan bisnisnya ke Indonesia membeli saham operator seluler di dalam negeri yaitu Telkomsel dan XL Axiata (sebelumnya Excelcomindo). Bahkan Indosat yang sebelumnya BUMN telekomunikasi sudah diprivatisasi, saat ini mayoritas sahamnya dikuasai asing yaitu Qatar Telecom Group sebesar 65% dengan membeli  41% milik STT (Singapore Telecommunication Tecnologies), sedangkan sisanya dari pasar melalui tender offer, sementara pemerintah Indonesia hanya memiliki 15%.

Pada awal 2011, pemerintah menyetujui penambahan tambahan alokasi frekuensi berbasis teknologi generasi ketiga (3G) sebesar 5 MHz bagi .2 operator yaitu PT. Axis Telekom Indonesia (sebleumnya PT. Natrindo Telepon Seluler) dan PT. Hutchison CP Telecommunication Indonesia. Sementara itu hampir semua pemasok teknologi telekomunikasi dunia telah berada di Indonesia untuk menikmati pasar yang besar ini. Industri seluler merupakan salah satu industri jasa yang paling dinamis dan melibatkan investasi sangat besar setiap tahunnya. Pada 2011 ini belanja perangkat jaringan telekomunikasi nasional diperkirakan mencapai US$ 4,7 miliar.

Dalam menghadapi persaingan yang ketat, operator melakukan merger seperti PT. Smart Telecom mengakuisisi PT. Mobile 8 dan namanya berubah menjadi PT. Smartfren Telecom pada awal 2011. Saat ini semua operator seluler mulai  meninggalkan strategi tarif murah, saat ini operator seluler lebih mengandalkan layanan data dan pelanggan sebagai sumber utama pemasukan.

Sistem telekomunikasi selular

Di Indonesia saat ini terdapat dua system telekomunikasi seluler yaitu Global System for Mobile communication (GSM) dan Code Division Multiple Access (CDMA). 

a. GSM
GSM merupakan teknologi komunikasi digital yang bekerja pada pada frekuensi 900 MHz. Di frekuensi 900 MHz, GSM memiliki 140 slot kanal frekuensi pembawa dengan rentang nilai frekuensi uplink : 890 MHz - 915 MHz dan downlink : 935 MHz - 960 MHz. Nilai rentang frekuensi (band width) untuk tiap slotnya adalah sebesar 200 kHz. Karena penggunaan frekuensi ini tidak akan mampu memenuhi tuntutan pelanggan, mengingat pertumbuhan jumlah pelanggan yang sangat pesat, maka digunakan mekanisme frekuensi re-use, yang akan mengulang penggunaan frekuensi yang sama di suatu BTS yang memiliki jarak aman tertentu.

Pada 1995 pemerintah memberikan izin pengelolaan secara nasional bagi tiga operator GSM 900 tanpa melalui tender yaitu Satelindo (yang kemudian merger kedalam Indosat), Telkomsel dan XL Axiata (sebelumnya PT. Excelcomindo Pratama). Hingga saat ini 5 operator seluler GSM yang beroperasi di Indonesia. 

Untuk meningkatkan kapasitas kanal GSM, saat ini juga digunakan frekuensi 1800 MHz (1,8GHz) atau dikenal dengan  Digital Cellular System ( DCS ) 1800, sebuah sistem komunikasi personal ( Personal Communication Network - PCN ) dari Eropa.

GSM di frekuensi 1800 MHz biasa dikenal sebagai DCS (Digital Celluler System) 1800 atau GSM 1800 didalamnya  ada 374 kanal frekuensi pembawa yang bisa digunakan untuk melayani pelanggan seluler. Kanal-kanal itu dibagi menjadi uplink : 1720 MHz - 1785 MHz dan downlink : 1805 MHz - 1880 MHz.


b. CDMA
CDMA juga merupakan system teknologi digital yang digunakan dalam komunikasi baik fixed maupun mobile. Teknologi ini banyak diadopsi di negara Amerika Utara.

Teknologi CDMA dikenal unggul khususnya CDMA 20001x terutama terletak pada kejernihan suara dan kecepatan transfer data. Sementara, kelebihan GSM terutama terletak pada kemampuan roaming dan luasnya penggunaan teknologi ini.

Keunggulan teknologi CDMA khususnya CDMA 2000 1X mampu menghasilkan suara dengan kualitas yang jauh lebih jernih, sebab teknologi CDMA mampu menghilangkan noise sampai pada tingkat yang sangat minimal.  Jernihnya kualitas suara tersebut, dianggap sebagai aspek yang penting dalam penyediaan layanan telepon. Kualitas suara telepon tetap nirkabel CDMA dianggap sama dengan kualitas telepon dengan kabel.

Di dunia internasional, teknologi CDMA 2000-1X sudah banyak digunakan di berbagai negara seperti Korea Selatan, Cina dan Amerika Serikat. Di Indonesia, operator CDMA 20001x dengan lisensi seluler adalah  PT. Smartfren Telecom (merger antara PT. Smart Telecom dengan PT. Mobile-8 Telecom) dan PT. Sampoerna Telekomunikasi Indonesia. Sedangkan yang lainnya berlisensi fixed-wireless (telepon tetap nirkabel) seperti PT. Telkom, PT. Indosat dan PT. Bakrie Telecom.

Kecepatan transfer data teknologi CDMA juga dianggap lebih unggul. Di Indonesia, kecepatan transfer data  sampai dengan 153,6Kbps tersedia di seluruh area layanan, sedangkan . kecepatan transfer data 2.4Mbps tersedia untuk jaringan CDMA2000 1X EV-DO untuk wilayah Jakarta. 

Pelaku usaha

Saat ini operator seluler di Indonesia terdiri dari 10 perusahaan yang terdiri dari 5.operator berbasis GSM dan 5 operator berbasis CDMA. Dalam bisnis seluler GSM terdapat 3 pemain besar yaitu Telkomsel, Indosat dan XL Axiata yang memiliki ijin secara nasional. Ketiganya beroperasi dual band yaitu menempati frekuensi 900 Mhz dan 1800 Mhz yang dapat melayani teknologi 3G.

Indosat
Operator GSM pertama adalah PT. Satelit Indonesia  (Satelindo) yang pada awalnya dimiliki oleh Bimantara Group, Telkom dan Indosat.  Kemudian Indosat dan Telkom saling bertukar saham atas kepemilikan silang di anak perusahaan (Satelindo dan Telkomsel) agar tidak terjadi tumpang tindih kepemilikan.  Saham Indosat di Telkomsel ditukar dengan saham Telkom di Satelindo, sehingga kemudian Telkomsel menjadi milik Telkom dan Satelindo menjadi milik Indosat.

Pada 2003 PT Satelindo dan PT Indosat Multimedia Mobile (operator IM3) anak perusahaan Indosat, melakukan merger vertikal kedalam Indosat dengan tujuan untuk menghemat operasional ekspenditur. Namun Indosat tetap mempertahankan produk seluler masing-masing yaitu kartu Matrix, kartu Mentari milik Satelindo dan kartu IM3 milik Indosat Multimedia Mobile. Selain menyediakan layanan seluler GSM, Indosat juga memiliki layanan CDMA fixed wireless yaitu Starone serta memberikan layanan SLI dan SLJJ serta layanan multi media.

Pada 2004 Indosat bekerjasama dengan Starhub, sister company Indosat yang berada di Singapore,  sukses meluncurkan fitur Black Berry yaitu suatu solusi mobile yang lengkap, mencakup wireles e-mail, global address lookup, wireless calendar syncronization, juga mobile data, yang terintegrasi serta aman. Layanan BlackBerry memerlukan jaringan GPRS (General Packet Radio Services) agar memungkinkan seluruh fitur-fitur yang ada bisa berjalan dengan baik.

Kemudian pada 2005 Indosat menggandeng Nokia meluncurkan layanan Black Berry Connect dimana pelanggan dapat mengakses layanan ini tanpa harus menggunakan handset khusus yang diproduksi oleh RIM (Research In Motion), tetapi tetap dapat mengaksesnya dengan handset Nokia 9500 dan Nokia 9300.   

Sepanjang 2009  Indosat lebih banyak melakukan upgrade teknologi dibandingkan dengan memperluas jaringan melalui penambahan jumlah base transceiver station (BTS). Pada 2010 Indosat melakukan ekspansi 3G, peningkatan service network dan kapasitas broadband. Serta melakukan modernisasi jaringan  seluler melalui penerapan teknologi single RAN SDR (Single RAN Radio) di jaringan pemancar BTS  serta menyiapkan migrasi ke jaringan digital Internet Protocol. Dengan ekspansi ini Indosat  dapat  meningkatkan pangsa pasar serta efisiensi biaya operasi.

Pada 2011 ini Indosat akan mengambil alih kendali broadband ritel, dari anak perusahaan PT. Indosat Mega Media (IM2) yang bergerak dalam Internet Service Provider.

Telkomsel
PT. Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) merupakan anak perusahaan Telkom (BUMN telekomunikasi). Mulanya  perusahaan  ini  menjadi pilot  project sistem telekomunikasi bergerak berbasis  teknologi digital  GSM  yang dikembangkan oleh Telkom dan  Indosat,  dengan komposisi  saham 51%:49%. Masuknya mitra asing membuat komposisi saham Telkomsel berubah. Kini, Telkomsel dimiliki  oleh  Telkom (65%) dan Singapore Telecom Mobile (SingTel, 35%).

Sekitar 50% BTS milik Telkom juga dipakai oleh Telkomsel. Sebaliknya, BTS milik Telkomsel yang digunakan layanan Flexi milik Telkom baru sekitar 8%.

Telkomsel akan menerbitkan obligasi (surat hutang) senilai Rp 2 triliun untuk memenuhi belanja modal 2007. Oleh induk perusahaan, PT Telkom, anggaran belanja modal yang diproyeksikan untuk anak usaha selularnya itu Rp 14 triliun. Dana obligasi digunakan untuk ekspansi bisnis Telkomsel demi mempertahankan penguasaan pasar 44,5%. Telkomsel mentargetkan peningkatan pelanggan dari 94 juta pada 2010 menjadi sekitar 115 juta 2011.

Telkomsel saat ini merupakan market leader pada bisnis seluler di Indonesia dengan penguasaan pasar lebih 50% dengan  memiliki jangkauan lebih dari 95% populasi di Indonesia. Telkomsel juga telah bekerja sama dengan 260 mitra operator roaming international di 15 negara yaitu Singapura, Malaysia, Filipina, Taiwan, Australia, Hongkong, Jerman, Belgia, Perancis, Arab Saudi, Italia, Yunani, Belanda, Jepang, dan Swedia.

XL Axiata
Pada awalnya bernama PT. Excelcomindo Pratama (XL) dan beroperasi pada 1989. Kemudian menjadi perusahaan publik dengan melakukan Initial Public Offering (IPO) pada 2005 menjual 20% sahamnya ke publik. XL merupakan satu-satunya perusahaan telekomunikasi seluler yang membangun dan memiliki jaringan serat optik, yang terdiri dari jaringan utama (backbone) sepanjang sisi kanan dan sisi kiri jalan kereta api dari  Bandung, Jawa Barat ke Surabaya, Jawa Timur dan mencakup kota-kota besar lainnya di Jawa.

Untuk menambah kapasitas dan mengatasi lalu lintas dalam kota yang padat di Jawa Tengah, telah dibangun empat jaringan yang berhubungan dengan jaringan utama (backbone). Serat optik utama di Jawa terdiri dari 72.144 kbps  dan 216 serat inti yang menggunakan synchronous digital hierarchy (SDH) untuk menghubungi masing-masing poin sepanjang backbone dan kabel cincin.

Pada September 2003 telah didirikan sekitar 4.400 kilometer kabel jaringan optik dan hingga 2010 sudah mencapai 13.000 kilometer. Pada Agustus 2007  proyek jaringan kabel laut XL  dari Batam ke Johor Malaysia  siap beroperasi. Proyek yang bernama Batam Rengit Cable System (BRCS) itu akan menjadi jembatan penghubung bagi jaringan XL di Indonesia dengan jaringan Telekom Malaysia (TM). Dari Rengit,  TM akan menyediakan akses ke jaringan global kepada XL.  Jaringan kabel optik bawah laut Batam-Rengit ini sepanjang kurang lebih 63 km.  Kapasitas yang tersedia adalah 48 core. Setiap satu pair cable (@ 2 core) memiliki initial capacity sebesar 10 GHz. Dengan teknologi terbaru DWDM, satu pair cable dapat di-upgrade hingga satuan Terra Bit.

Saat ini XL sudah memiliki jaringan infrastruktur yang berbasis Internet Protocol (IP). Pada 2006, IP backbone XL sudah tersedia di 19 kota dan tahun ini akan menjadi 50 kota.   Sekitar 60% dari jaringan backbone tersebut  sudah berbasis IP. Selain teknologi 2G, 2,5G, XL juga sudah mengimplementasikan teknologi 3G dan 3,5 G termasuk untuk integrasi  FMC.  XL siap memasuki era full Internet Protocol, yaitu adanya konvergensi layanan voice, data, video dan broadcasting. Selain memberikan layanan seluler, XL juga memiliki produk Business Solutions yaitu layanan solusi korporat berbasis sirkit sewa (leased line), broadband dan IP (Internet Protocol).

Pada Desember 2009 nama perusahaan berubah menjadi menjadi PT XL Axiata Tbk., menyusul perubahan nama perusahaan holdingnya di Malaysia. Saat ini pemegang sahamnya adalah Axiata Investment Indonesia Sdn Bhd (sebelumnya Indocel Holding Sdn Bhd) sebanyak 66,7%, Etisalat 13,3%), dan publik 20%. Axiata Investment adalah anak perusahaan Telekom Malaysia (TM) Berhad Group, kemudian pada 2009 TM berganti nama menjadi Axiata.   

XL Axiata merupakan anak perusahaan dari Axiata Group Berhad yang memiliki  8 operator di Asia yaitu Aktel (Banglades), Hello (Kamboja), Idea (India), MTCE (Iran), Celcom (Malaysia), Multinet (Pakistan), M1 (Singapura), dan Dialog (Sri Lanka).

AXIS Telekom Indonesia
Pada awalnya perusahaan ini bernama Lippo Telecom merupakan anak perusahaan Lippo yang bekerjasama dengan Hutchison. Sejak beroperasi 2002 pelanggan yang dijaring sangat kecil. Kemudian perusahaan ini berubah nama menjadi PT. Natrindo Telepon Seluler (NTS) mengakuisisi ijin yang dimiliki  6 perusahaan lain yang memegang lisensi regional sehingga bisa beroperasi secara nasional.  Pada 1998  dengan modal US$ 60 juta, NTS menang tender sebagai operator GSM pada frekuensi 1800 Mhz yang memiliki lisensi regional di Jawa Timur.  Namun hal itu tidak mampu mendongkrak NTS untuk menggaet langganan. Sampai 2004 jumlah langganannya masih dibawah 100 ribu pelanggan. Kemudian Hutchison menarik diri setelah melihat situasi itu.

Pelanggan NTS menyusut karena jangkauannya hanya regional, kini jumlahnya hanya tinggal 10 ribu orang dan menderita kerugian hingga US$ 20 juta.  Kemudian akhir 2004, NTS menggandeng kelompok usaha Kodel dan mendapatkan izin operasi secara nasional. Tidak hanya itu, NTS juga naik pangkat menjadi operator dual band setelah mendapatkan frekuensi TDD, sehingga bisa melayani seluler 3G.

Pada 2006 NTS menggaet Maxis Communication perusahaan telekomunikasi terkemuka dari Malaysia, sebagai mitra strategis dengan membeli 51% saham NTS senilai US$ 100 juta. Maxis berkomitmen akan  mengembangkan NTS agar bisa  beroperasi di beberapa kota besar di Jawa mulai Juli 2006. Setiap pinggir ruas jalan tol akan segera dipasangi menara-menara BTS.

Pada pertengahan 2011, nama perusahan berubah menjadi PT AXIS Telekom Indonesia. Pemegang saham saat ini terdiri dari Saudi Telecom Company (80,1%), Maxis Communication Berhad dari Malaysia 14,9% dan sisanya PT. Harmersha Investindo 5%.

Pada 2011 pemerintah menyetujui tambahan kanal frekuensi berbasis teknologi generasi ketiga (3G) sebesar 5 MHz kepada Axis. Penambahan ini disetujui karena merupakan penambahan kanal yang pertama. Untuk penambahan  kanal 3G sebesar 5MHz uplink dan downlink dikenakan biaya sama dengan tiga operator 3G lainnya yaitu PT. Telkomsel, PT. Indosat dan PT. XL Axiata yang sudah mengambil tambahan kanal kedua pada frekuensi 1900 MHz sebelumnya, yakni Rp 160 miliar per tahun.

Axis menggunakan penambahan kanal 3G itu akan digunakan untuk meningkatkan kapasitas layanan Internet mobile dan akses layanan data. Dari target pembangunan 4.000 base transceiver station (BTS) hingga akhir 2011 ini, 70% di antaranya berbasis 3G untuk mendukung strategi Axis dalam melayani komunikasi data.

Hutchison
PT. Hutchison CP Telecommunications Indonesia (HCPT) sebelumnya bernama PT. Cyber Access Communications yang telah mendapat ijin sebagai operator seluler GSM pada 2004. Cyber Access diambil alih oleh Hutchison Telecommunications International Ltd (HTIL) dari Hongkong yang menguasai (60%) dan Charoen Popkhand Group dari Thailand (40%). HTIL merupakan penyedia layanan 3G di Hongkong dan Israel yang menjalankan tiga merek telekomunikasi yang berbeda yaitu Hutch, Kasapa dan "3" di sembilan pasar di Afrika dan Asia termasuk Indonesia, serta memiliki lebih dari 36,5 juta pelanggan 2G dan 3G di seluruh dunia. Sementara Charoen Pokphand merupakan perusahaan multinasional Thailand yang telah ada di Indonesia sejak 1971 dengan mempekerjakan 30.000 pegawai.

HTIL dan Charoen Phokphand mengeluarkan US$ 1,4 miliar untuk mengembangkan layanan GSM 3 (Three) di Indonesia. Nama perusahaan ini berubah menjadi PT. Hutchison CP Telecommunications Indonesia (HCPT).  HCPT merupakan operator seluler paling baru yang mempunyai lisensi untuk 2G/1800 Mhz dan 3G/WCDMA yang beroperasi mulai Maret 2007.  Nama Three ini juga digunakan digunakan Hutchison untuk produknya di beberapa negara di kawasan Asia dan Eropa termasuk Hong Kong, Australia, Inggris, Italia, Irlandia, Austria, Swedia, dan Denmark.
HCPT hadir di 67 kota di Jawa dan Bali pada Juni 2007 dan Agustus 2007 layanannya mencakup Sumatera. Sedangkan Kalimantan dan Sulawesi pada akhir 2008. "3" didistribusikan oleh satu distributor nasional dan enam distributor regional yang melingkupi area Jabodetabek, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur dan Bali. Pada 2010 HCPT melakukan ekspansi jaringan ke Kalimantan Tengah, sebagai provinsi ke-23 jangkauan layanan Tri.

Untuk pengembangan jaringan seluler di Indonesia. HCPT menggandeng beberapa vendor yaitu Siemens, Nokia, dan Converge Mbt. Siemens untuk memasok teknologi Base Tranceiver Station, Nokia mengembangkan Integrated Network dan Converge Mbt memfasilitasi penggunaan dealing system.

Pada 2011 HCPT mendapatkan alokasi penambahan kanal frekuensi berbasis teknologi generasi ketiga (3G) sebesar 5 MHz. Ini merupakan penambahan  frekuensi berbasis 3G.yang pertama dilakukan oleh HCPT. Sementara dua operator lainnya sudah pernah memperoleh tambahan yakni Telkomsel pada 2009 bersama Indosat dan XL Axiata pada 2010 lalu.

Operator CDMA
Sementara itu, operator seluler berbasis CDMA terdiri yaitu PT. Smartfren Telecom (merupakan merger anatara PT. Mobile-8 Telecom dengan PT. Smart Telecom) dan PT. Sampoerna Telekomunikasi Indonesia.

Smartfren Telecom
PT. Smartfren Telecom merupakan merger antara PT. Smart Telecom milik Sinarmas Group dengan PT Mobile-8 Telecom pada awal 2011.

PT. Mobile-8 didirikan pada 2002 oleh Bimantara Group.  Pada 2005 diambil alih oleh Bhakti Investama Group milik Harry Tanusoedibyo.  Pada Maret 2007 Mobile-8 menggabungkan tiga anak usahanya yakni PT Komunikasi Selular Indonesia (Komselindo), PT Metro Selular Nusantara (Metrosel) dan PT Telekomindo Selular Raya (Telesera) ke dalam Mobile-8 untuk meningkatkan efisiensi kegiatan operasional dan biaya. 

Sebelumnya ketiga operator tersebut menyediakan layanan telekomunikasi selular berbasis AMPS di berbagai wilayah seperti Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa, Bali, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan wilayah timur di Indonesia. Setelah mengakuisisi ketiga operator tersebut, secara bertahap Mobile-8 mengganti teknologi jaringan selulernya dari AMPS menjadi CDMA digital, sehingga mampu menyediakan layanan dengan jangkauan seluruh wilayah Indonesia.

Mobile-8 adalah operator seluler berbasis CDMA  200 1X dan EV-DO. Sistem ini memiliki kemampuan untuk menyediakan layanan suara dan teks berkualitas tinggi serta layanan akses data berkecepatan tinggi dan layanan berbasis video streaming. Produk yang ditawarkan oleh Mobiel-8 adalah kartu Fren yang mulai beroperasi pada 2003, layanan Fren hanya terdapat di Pulau Jawa dan luar pulau Jawa.

PT. Smart Telecom (sebelumnya bernama PT  Indoprima Microselindo merupakan merger PT. Primasel dengan PT. Wireless Indonesia  pada 2006). Perusahaan ini mendapat lisensi berbasis teknologi CDMA2000 1X EV-DO dan akan operasi pada Juni 2007 menggunakan pita frekuensi 1900 MHz yang diperuntukkan bagi layanan telekomunikasi seluler generasi ketiga (3G) operator GSM.

Sejalan dengan penertiban frekuensi 1900 Mhz untuk 3G oleh pemerintah, Primasel diminta pindah, namun  Primasel bersikukuh menempati frekuensi itu karena yakin tidak akan bersinggungan dengan frekuensi 3G. Bila ternyata kemudian layanan Primasel mengganggu area 3G,  maka Primasel harus keluar dari pita frekuensi 1900 Mhz tanpa kompensasi apapun dari pemerintah.

Wireless Indonesia mempunyai lisensi komunikasi data (bukan seluler) dalam frekuensi 3G (generasi ketiga) sejak 2001. Saat ini WIN harus pindah dari frekuensi 1900 dan diberi tempat ke pita Time Division Duplex (TDD) di rentang 1,9 Gigahertz.  Menurut Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) meski Primasel tidak di core band  3G tetapi di satelit, Primasel harus pindah karena downlink Primasel masih bersinggungan juga dengan 3G.  Primasel merupakan kasus unik yaitu frekuensi downlink Primasel yang memasuki wilayah 3G sedangkan frekwensi uplink nya tidak. Artinya hanya separuh dari pasangan blok frekuensi yang digunakan Primasel yang perlu dipindahkan. Dengan demikian, Primasel harus membayar setengah kewajiban operator 3G lainnya. Besarnya up front fee dan Biaya Hak Penggunaan Frekuensi hari pertama yaitu Rp 704 miliar. 

PT Smart Telecom mengoperasikan teknologi komunikasi generasi keempat Long Term Evolution (LTE) di wilayah Surabaya dan Malang pada akhir 2010. Teknologi ini diprioritaskan untuk pelanggan korporasi dengan kebutuhan akses internet berkecepatan tinggi. Jaringan LTE membantu pelanggan data yang ingin menggunakan kecepatan mengunduh di atas jaringan EVDO Rev B 9,3 mbps yang dikembangkan sebelumnya. Berbeda dengan teknologi Wimax yang harus membangun infrastruktur baru, teknologi LTE ini nantinya bisa memanfaatkan komponen jaringan yang sudah ada.

Setelah merger, Smartfren menyelesaikan proyek business support system (BSS) dan value added service (VAS) sebagai solusi migrasi layanan. Smartfren menunjuk ZTE dari China untuk penggabungan layanan dan pelanggan melalui platform BSS dan VAS. Solusi BSS dari ZTE sendiri termasuk OCS, CRM, layanan prabayar dan pascabayar terintegrasi.

Sampoerna Telekomunikasi
PT. Sampoerna Telekomunikasi Indonesia (STI) didirikan pada 2005 oleh Sampoerna Group milik Putra Sampoerna, orang terkaya kedua diIndonesia versi majalah Forbes. Melalui Miel Investment Corporation, yang keseluruhan sahamnya dimiliki Putera Sampoerna  dan Trans Asia Telecom Ltd., keluarga Sampoerna aktif berekspansi ke sejumlah negara. Salah satunya ke Sri Lanka, dengan mengusung trade mark Lanka Bell. Miel Investment Corp. sendiri kini menguasai 72% (sebelumnya 67%) saham Transmarco Ltd., sebuah perusahaan yang memiliki bisnis inti di bidang telekomunikasi, ritel, dan properti, serta terdaftar di bursa efek Singapura.

Trans Asia Telecom Ltd. Merupakan kendaraan ideal bagi Sampoerna untuk menguasai bisnis telekomunikasi di kawasan regional Asia Tenggara.  Setelah menjual pabrik rokoknya, PT HM Sampoerna Tbk., ke Philip Morris, keluarga Putra Sampoerna mendapat dana segar hingga US$2 miliar (setara dengan Rp18 triliun). Hal ini mendorong keluarga Sampoerna berinvestasi di berbagai bisnis baru termasuk telekomunikasi seluler melalui STI.

Awal 2006  Sampoerna melalui anak perusahaannya Twinwood Venture Ltd  mengakuisisi 58% saham PT. Mandara Seluler Indonesia senilai US$ 38 juta. Mandara beroperasi di Lampung yang sebelumnya mengambil alih PT. Mobisel operator seluler bergerak nordic mobile telephone (NMT) yang sudah usang.

Setelah menjadi milik STI, pada Maret 2006 produk Mandara yang sebelumnya bernama Neon berubah menjadi Ceria. Hingga kini, STI baru berhasil menggaet sekitar 50.000 pelanggan yang tersebar di Lampung, Bali, dan Lombok termasuk 8.000 pelanggan Mandara.

Pihak manajemen menargetkan, dalam dua tahun ke depan, Ceria akan memiliki coverage di seluruh Nusantara. Sementara itu, dalam waktu dekat, STI akan melebarkan sayapnya ke Aceh, Medan, Padang, Jawa Barat, dan Banten. STI mentargetkan 250.000 pelanggan tahun depan. Layanan STI diawali dari Lampung akhir Februari 2007 dengan kekuatan 16 BTS dan Bali pada akhir Maret lalu memiliki 8 BTS. Sinyal dari spektrum frekuensi rendah ini menurut pengalaman di lapangan dapat diterima radius 50 km dari BTS, sehingga sangat efektif untuk menyasar masyarakat pedesaan yang belum menikmati jasa telekomunikasi.

STI yang memiliki lisensi nasional dengan frekuensi rendah ini sudah   menjangkau Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua pada 2007. Untuk memperluas operasionalnya, STI menerbitkan telepon umum kartu untuk Lampung dan Jawa Timur.

Dominasi Asing

Investor Singapura dan Malaysia kuasai pasar
Saat ini bisnis telekomunikasi Indonesia didominasi investor asing yaitu perusahaan telekomunikasi terkemuka dari Singapura dan Malaysia, yang membeli saham beberapa perusahaan telekomunikasi papan atas seperti Indosat, Telkomsel dan XL.

Temasek Holdings dari Singapura menguasai bisnis telekomunikasi di Indonesia melalui Sing Tel yang memiliki 35% saham di Telkomsel dan melalui lewat Singapore Technology Telemedia (STT) yang membeli 41,08% saham Indosat  senilai Rp 5,62 triliun.   .....


0 Komentar:

Komen disini ya :)