Pagi hari buta, aku bergegas bangun, melaksanakan shalat subuh dan langsung mencari tumpukan barang-barang bekas yang tersisa di tempat-tempat sampah di perumahan. Yah, pemandangan yang tak lazim , dimana seharusnya aku diusia ini merasakan nikmatnya bangku sekolah, merasakan nikmatnya bermain dengan teman-teman , kini harus aku lewati dengan beban penuh tanggung jawab. Bagaimana lagi, ayahku sudah meninggal lima tahun yang lalu, ibuku pun berprofesi sebagai buruh cuci dan setrika, kebutuhan hidup pun tidak bisa kuserahkan pada ibu. Ya, setidaknya aku bisa membantu dengan pekerjaanku ini sebagai pengais sampah. Memang pekerjaanku ini terlalu sulit kurasakan, dimana seharusnya aku bersekolah, memakai seragam, kini sirna karena tidak tercukupnya ekonomi keluarga.
Aku anak pertama dari 3 bersaudara. Kini aku mengemban tugas menjadi tulang punggung keluarga, yang memberi nafkah bagi adik-adiku dan juga ibuku. Pukul 06.00 aku mulai mengais-ngais bak sampah untuk mencari barang yang bisa dirongsokan dan pukul 12.00 aku menyetorkan barang-barang rongsokan ke seorang juragan yang bernama pak Dullah. Beliau orang yang baik hati, selalu menmeli barang rongsokanku dengan harga yang sesuai dan memandang hasil kerja kerasku sebagai pengais sampah atau tukan mulung. Hari ini, barang yang ku kumpulkan lumayan banyak, serasa hati gembira karena aku akan mendapat upah yang cukup untuk membeli lauk pauk hari ini. Ternyata pak Dullah memberiku upah yang cukup banyak sebesar Rp. 50.000,00. Aku bersyukur karena uang itu dapat dipakai untuk membeli lauk pauk selama 3 hari.
Aku segera pulang, dan tidak lupa mapir ke warung nasi rames untuk hidangan nanti malam. Aku membeli nasi rames 2 bungkus dengan harga seporsi Rp. 5.000,00. Kadang-kadang aku hanya makan satu kali sehari bila upahku sedikit. Aku berjalan pulang menuju rumah melewati jalan Mastrip yang terkenal akan keramaianya dari hiruk pikuk kota Jakarta. Aku menyeberangi simpang-simpang jalan yang ada, lalu ada mobil yang mengklaksonku secara keras, aku kaget, lauk nasi pun jatuh dan uang kembalian membeli nasi rames berceceran. Seingatku itumobil mewah dengan plat merah bertuliskan RI 1, kejadian itu menyita perhatian seluruh pengguna jalan. Pemilik mobilpun membuka kacanya tapi dia tidak meminta maaf padaku melainkan dia mengumpatku dengan kata-kata kasar dan memarahiku dengan nada kasar penuh amarah,” hai,anak miskin kalau keringatmu itu melecetkan mobilku gimana ?”katanya dengan nada kasar. Aku tak sanggup berkata, lalu mobil itu beranjak pergi meninggalkanku.
Ini memang Negara yang miris karena adanya kesenjangan sosial antara pejabat dengan rakyatnya, batinku. Seandainya saja mereka diposisi kami bagaimana ? Tanpa adanya masyarakat apakah akan tercipta Dewan Perwakilan Rakyat ? Bagaimana mereka bisa hidup bila tidak ada rakyat ? Seribu tanda tanya terbesit dipikiranku tentang wakil rakyat ini. Yah,memang inilah kehidupan orang susah, tidak diperhatikan, terbuang, dan tertinggalnya kebudayaan yang era menglobalisasi ini. Miris sekali Negara kita ini. Wakil rakyat seharusnya merakyat dong ?
0 Komentar:
Komen disini ya :)