KARENA ADA CINTA
Karya Murni Oktarina
Di sebuah rumah mewah, terlihat seorang gadis berusia 16 tahun sedang menyapu ruangan tamu yang sangat besar. Gadis itu bernama Dina, siswi kelas 2 SMA. Meski usianya yang masih belia, dia harus bekerja untuk membantu meringankan beban bibinya yang telah membesarkan dirinya. Orang tua Dina meninggal dunia karena kecelakaan waktu Dina masih berumur 4 tahun.
Dengan tekun, setiap pulang sekolah Dina langsung menuju rumah mewah tempat dia bekerja sebagai pembantu. Rumah itu adalah rumah Dira, teman sekelasnya. Sebenarnya Dina telah menyukai Dira sejak mereka kelas 1. Oleh karena status sosial yang berbeda dan Dira sudah memiliki pacar, maka Dina memilih menyimpan rasa itu dalam hati. Apalagi sikap Dira ke Dina kurang ramah, membuat Dina agak takut mendekati Dira, yang sekarang menjadi anak majikannya.
“Hei, setrika baju aku dengan rapi dan cepat! Aku mau pergi nih,” perintah Dira pada Dina yang sedang mencuci piring.
“Iya, Dira mau kemana ya? Sebaiknya istirahat saja dulu kan baru pulang sekolah,” ujar Dina pelan.
“Jangan banyak omong,” bentak Dira.
Dina hanya terdiam dan maklum akan sifat Dira karena sudah sering Dira membentak dirinya seperti itu.
***
Dengan tekun, setiap pulang sekolah Dina langsung menuju rumah mewah tempat dia bekerja sebagai pembantu. Rumah itu adalah rumah Dira, teman sekelasnya. Sebenarnya Dina telah menyukai Dira sejak mereka kelas 1. Oleh karena status sosial yang berbeda dan Dira sudah memiliki pacar, maka Dina memilih menyimpan rasa itu dalam hati. Apalagi sikap Dira ke Dina kurang ramah, membuat Dina agak takut mendekati Dira, yang sekarang menjadi anak majikannya.
“Hei, setrika baju aku dengan rapi dan cepat! Aku mau pergi nih,” perintah Dira pada Dina yang sedang mencuci piring.
“Iya, Dira mau kemana ya? Sebaiknya istirahat saja dulu kan baru pulang sekolah,” ujar Dina pelan.
“Jangan banyak omong,” bentak Dira.
Dina hanya terdiam dan maklum akan sifat Dira karena sudah sering Dira membentak dirinya seperti itu.
***
“Dina, bawa baju olahraga gak?” tanya Mita pacar Dira.
“Iya Mita, aku bawa baju olahraga. Kenapa ya?” jawab Dina tersenyum.
“Berikan baju kamu ke Mita! Jangan sampai Mita dihukum Bu Amel karena gak bawa baju olahraga,” kata Dira yang tiba-tiba sudah berada di dekat mereka.
Dina memberikan bajunya ke Mita. Tak berapa lama, Mita dan Dira keluar kelas menuju lapangan untuk mengikuti pelajaran olahraga. Dina hanya termenung di dalam kelas. Tentu ia tak akan diizinkan ikut pelajaran olahraga oleh Bu Amel jika tidak memakai baju olahraga.
Dina pernah dihukum karena tidak memakai topi saat upacara bendera. Bukan karena tidak membawa topi, tapi topi itu dia berikan pada Dira yang sering ketinggalan atau lebih tepatnya malas membawa topi untuk perlengkapan upacara bendera. Pernah juga Dina dimarahi gurunya karena tidak membuat PR. Bukan karena Dina anak pemalas yang tidak membuat PR, tapi kertas PR nya dia berikan pada Dira. Dina memang anak baik dan dia selalu bersikap baik pada Dira, hanya saja Dira selalu memandang rendah Dina yang ia anggap hanyalah pembantu bukan sebagai seorang teman.
Tak hanya sampai disitu, karena Dina menyukai dan menyayangi Dira, sampai-sampai Dina rela menolong Dira saat Dira hampir kecelakaan. Alhasil, kaki Dina lah yang terkena mobil dan sampai saat ini kaki Dina sedikit pincang. Dira tak sadar dan tak mau tahu tentang kebaikan Dina pada dirinya selama ini. Dira membenci Dina karena Dira mengetahui perasaan Dina pada dirinya dari Mita.
“Dina! Kenapa baju kesayanganku bisa bercak-bercak merah begini?” teriak Dira marah.
“Maafkan aku Dira, baju kamu terendam dengan baju lain yang warnanya luntur,” kata Dina lirih ketakutan.
Dira mendorong tubuh Dina dan menghardiknya, “Dasar pembantu gak berguna!”
Dina hanya bisa menangis, menyesali kecerobohannya yang sudah memancing amarah Dira. Beberapa menit setelah tangisannya reda, Dina melangkah tertatih menuju ruang tengah untuk menyapu. Akan tetapi diurungkannya niat untuk menyapu karena dia melihat Dira bersama Mita sedang berdua dan mesra. Dira mencium kening Mita, membuat Dina merasakan kecemburuan bercampur kaget sampai-sampai vas bunga di atas lemari dekat tempat dia berdiri tersenggol dan terjatuh. Diambilnya dan diletakkannya kembali dengan cepat kemudian berlalu ke belakang.
Belum hilang bayangan akan apa yang dilihatnya barusan, tiba-tiba Mita telah berada di belakang Dina.
“Cemburu ya? Makanya nyadar diri donk! Pembantu menyukai majikan, gak tahu diri banget sih elo,” hina Mita dengan wajah sinisnya.
Dina hanya tertunduk dan terdiam.
***
Di hari Minggu pagi yang cerah, Dina mengetuk rumah Dira untuk bekerja. Namun, rumah itu ternyata tak terkunci. Dina masuk perlahan dan ditemukannya Dira sedang menangis meraung-raung di dekat meja telepon.
“Mami… Jangan tinggalkan Dira! Dira ingin ikut Mami,” tangis Dira seraya memukul-mukul lantai dengan tangannya.
Mami Dira yang berobat keluar negeri seminggu yang lalu ternyata meninggal dunia menyusul papi Dira yang telah pergi terlebih dahulu. Dina merasakan kepedihan yang dirasakan Dira sekarang karena dia telah merasakan bagaimana kehilangan kedua orang tua sekaligus. Dina hanya bisa terpaku tanpa tahu harus berbuat apa.
Beberapa hari Dira hanya berdiam diri di rumah, dia tidak mau sekolah dan tidak mau makan. Hal ini membuat kondisinya menjadi buruk hingga jatuh sakit. Dina selalu menemani Dira dan menyemangatinya secara perlahan hingga Dira bisa sedikit mengobati rasa perih ditinggal maminya. Dira juga mulai bersekolah kembali seperti biasa.
“Say, mana mobilmu?” tanya Mita pada Dira sesampainya mereka di parkiran sekolah.
“Emm, mobil disita tanteku, aku disuruh naik angkot ke sekolah mulai sekarang,” kata Dira ragu-ragu takut Mita akan kecewa.
“Apa? Naik angkot? Gak banget deh, aku mau pulang bareng Rio aja,” teriak Mita terkejut kemudian meninggalkan Dira yang tertunduk sedih.
Tiba-tiba sebuah motor melaju kencang ke arah Mita yang sedang berjalan agak ke tengah, melihat itu Dira berlari menghampiri Mita dan dengan cepat mendorong Mita ke pinggir. Mita berhasil diselamatkan akan tetapi Dira yang tertabrak motor itu hingga tak sadarkan diri. Kepala Dira terbentur bebatuan, mata dan beberapa bagian tubuh Dira mengeluarkan banyak darah.
“Dira… Kamu kenapa? Apa yang terjadi?” Dina meneriakkan nama Dira sambil menangis melihat kondisi orang yang disayanginya bersimbah darah.
Melihat kerumunan banyak orang, Mita segera berlari dan masuk ke dalam taksi, dia takut jika disalahkan atas kecelakaan tersebut.
***
Setelah dua minggu, Dira baru bisa pulang dari rumah sakit. Luka-lukaya sudah sembuh namun ia harus mengalami kebutaan akibat matanya terluka saat kecelakaan itu. Tidak sampai disitu, penderitaan Dira makin bertambah saat dirinya diusir dari rumahnya sendiri oleh tantenya yang jahat. Adik kandung maminya itu ingin menguasai kekayaan yang seharusnya jadi milik Dira. Apalah daya yang bisa dilakukan seorang Dira, dia tak bisa menang melawan tantenya. Dan kini pun, Dina sudah tak lagi bekerja di rumah Dira karena dipecat sang tante yang tak memiliki rasa kasih sayang pada keponakan sendiri.
Atas permintaan Dina maka sekarang Dira tinggal di rumah bibi Dina. Dira tak lagi masuk sekolah karena dengan kondisinya yang buta tidak memungkinkan untuk belajar secara normal seperti dulu.
“Dina, tolong temui Mita hari ini dan bilang padanya kalau aku rindu padanya dan ingin bertemu,” mohon Dira pada Dina yang telah siap untuk berangkat sekolah.
“Iya Dira, akan aku sampaikan. Aku pergi sekolah dulu ya,” ujar Dina yang kemudian menyalami tangan bibinya untuk berpamitan.
“Hati-hati di jalan ya sayang!” pesan bibi pada Dina.
Sebelum keluar pagar, Dina menoleh ke belakang dan memandangi sosok Dira yang sangat berbeda dari Dira yang dulu. Sosok yang memancarkan penderitaan mendalam. Dina sangat ingin menolong Dira, tapi dia belum tahu bagaimana caranya.
“Dira itu buta dan sudah miskin sekarang. Tentu dia tak akan bisa buatku bahagia lagi. Kalau elo mau, ambil aja. Bukannya elo suka sama Dira kan?” cerca Mita setelah Dina menjelaskan dan menyampaikan pesan Dira tadi.
“Kamu tega banget, Mit. Dira buta itu karena menolongmu. Aku mohon sekali saja kamu temui Dira, kasihan dia,” ujar Dina menahan air matanya yang ingin keluar.
Bukannya memperhatikan perkataan Dina, Mita malah berlalu menghampiri Rio yang sekarang jadi pacarnya, pengganti Dira.
***
Hari ini hari yang ditunggu-tunggu Dira, perban matanya akan dibuka. Bibi Dina yang mendampingi Dira ikut merasa tegang menunggu hasil operasi mata Dira.
“Mataku bisa melihat lagi, Bi. Aku bisa melihat lagi, aku bisa melihat lagi!” teriak Dira bahagia.
Bibi memeluk Dira sambil menangis terharu. Operasi itu berhasil dengan sukses. Tidak sia-sia Dira dan bibi Dina berangkat menuju rumah sakit di Singapura untuk melakukan operasi.
“Oh ya, Dina gak ikut ke sini ya, Bi?” tanya Dira tiba-tiba yang menyadari tidak adanya kehadiran Dina bersama mereka.
Bibi mengangguk dan menjawab, “Dina gak ikut karena dia sekolah, Dira. Kita segera pulang sore ini saja ya, kasihan Dina sendirian.”
***
Bibi melihat Dina sedang tidur di kamar, yang mengherankan karena wajah Dina terlihat pucat dan badannya lemah. Seakan ada pohon besar yang menimpanya, bibi Dina menangis dan merasakan kesedihan yang tak terlukiskan membaca selembar kertas tentang pendonoran ginjal dan nama pendonor adalah Dina Prameswara Putri. Apa yang telah dilakukan Dina ini sama sekali tak diketahui oleh dirinya.
“Sayang, coba jelaskan pada bibi apa arti dari semua ini!” kata bibi pada Dina yang sudah terjaga dari tidurnya.
“Maafkan Dina, Bi. Dina gak cerita ke bibi terlebih dahulu. Dina mendonorkan ginjal kanan Dina pada seseorang dan dia menggantinya dengan uang yang Dina berikan pada bibi untuk operasi mata Dira. Dina bukan meminjam uang itu seperti yang Dina bilang pada bibi sebelumnya, maafkan Dina telah berbohong,”
Bibi Dina langsung memeluk keponakannya itu. Dia tak menyangka Dina memiliki hati seputih kapas, rela berkorban apa pun demi Dira yang disayanginya. Tiba-tiba pintu kamar Dina terbuka dan muncul Dira yang langsung memeluk Dina. Dina terkejut dan merasakan badannya gemetar dalam pelukan Dira.
“Aku tak tahu lagi harus berterima kasih seperti apa padamu, Din. Kamu terlalu baik padaku sampai-sampai merelakan ginjalmu untuk membiayai operasi mataku. Selama ini aku telah salah menilaimu. Maafkan aku Dina, kesalahanku sudah terlalu banyak padamu. Harusnya dari dulu aku sadar bahwa kamulah wanita yang benar-benar mencintaiku. Sekarang aku telah merasakan jika aku pun bisa mencintaimu, Dina.” kata Dira tanpa melepas pelukannya.
Dina tersenyum. Dia merasakan rasa tenang dan nyaman saat ini. “Andai saja bisa, akan ku hentikan waktu saat ini agar aku selalu berada dalam pelukanmu, Dira,” ujarnya dalam hati.
“Iya Mita, aku bawa baju olahraga. Kenapa ya?” jawab Dina tersenyum.
“Berikan baju kamu ke Mita! Jangan sampai Mita dihukum Bu Amel karena gak bawa baju olahraga,” kata Dira yang tiba-tiba sudah berada di dekat mereka.
Dina memberikan bajunya ke Mita. Tak berapa lama, Mita dan Dira keluar kelas menuju lapangan untuk mengikuti pelajaran olahraga. Dina hanya termenung di dalam kelas. Tentu ia tak akan diizinkan ikut pelajaran olahraga oleh Bu Amel jika tidak memakai baju olahraga.
Dina pernah dihukum karena tidak memakai topi saat upacara bendera. Bukan karena tidak membawa topi, tapi topi itu dia berikan pada Dira yang sering ketinggalan atau lebih tepatnya malas membawa topi untuk perlengkapan upacara bendera. Pernah juga Dina dimarahi gurunya karena tidak membuat PR. Bukan karena Dina anak pemalas yang tidak membuat PR, tapi kertas PR nya dia berikan pada Dira. Dina memang anak baik dan dia selalu bersikap baik pada Dira, hanya saja Dira selalu memandang rendah Dina yang ia anggap hanyalah pembantu bukan sebagai seorang teman.
Tak hanya sampai disitu, karena Dina menyukai dan menyayangi Dira, sampai-sampai Dina rela menolong Dira saat Dira hampir kecelakaan. Alhasil, kaki Dina lah yang terkena mobil dan sampai saat ini kaki Dina sedikit pincang. Dira tak sadar dan tak mau tahu tentang kebaikan Dina pada dirinya selama ini. Dira membenci Dina karena Dira mengetahui perasaan Dina pada dirinya dari Mita.
“Dina! Kenapa baju kesayanganku bisa bercak-bercak merah begini?” teriak Dira marah.
“Maafkan aku Dira, baju kamu terendam dengan baju lain yang warnanya luntur,” kata Dina lirih ketakutan.
Dira mendorong tubuh Dina dan menghardiknya, “Dasar pembantu gak berguna!”
Dina hanya bisa menangis, menyesali kecerobohannya yang sudah memancing amarah Dira. Beberapa menit setelah tangisannya reda, Dina melangkah tertatih menuju ruang tengah untuk menyapu. Akan tetapi diurungkannya niat untuk menyapu karena dia melihat Dira bersama Mita sedang berdua dan mesra. Dira mencium kening Mita, membuat Dina merasakan kecemburuan bercampur kaget sampai-sampai vas bunga di atas lemari dekat tempat dia berdiri tersenggol dan terjatuh. Diambilnya dan diletakkannya kembali dengan cepat kemudian berlalu ke belakang.
Belum hilang bayangan akan apa yang dilihatnya barusan, tiba-tiba Mita telah berada di belakang Dina.
“Cemburu ya? Makanya nyadar diri donk! Pembantu menyukai majikan, gak tahu diri banget sih elo,” hina Mita dengan wajah sinisnya.
Dina hanya tertunduk dan terdiam.
***
Di hari Minggu pagi yang cerah, Dina mengetuk rumah Dira untuk bekerja. Namun, rumah itu ternyata tak terkunci. Dina masuk perlahan dan ditemukannya Dira sedang menangis meraung-raung di dekat meja telepon.
“Mami… Jangan tinggalkan Dira! Dira ingin ikut Mami,” tangis Dira seraya memukul-mukul lantai dengan tangannya.
Mami Dira yang berobat keluar negeri seminggu yang lalu ternyata meninggal dunia menyusul papi Dira yang telah pergi terlebih dahulu. Dina merasakan kepedihan yang dirasakan Dira sekarang karena dia telah merasakan bagaimana kehilangan kedua orang tua sekaligus. Dina hanya bisa terpaku tanpa tahu harus berbuat apa.
Beberapa hari Dira hanya berdiam diri di rumah, dia tidak mau sekolah dan tidak mau makan. Hal ini membuat kondisinya menjadi buruk hingga jatuh sakit. Dina selalu menemani Dira dan menyemangatinya secara perlahan hingga Dira bisa sedikit mengobati rasa perih ditinggal maminya. Dira juga mulai bersekolah kembali seperti biasa.
“Say, mana mobilmu?” tanya Mita pada Dira sesampainya mereka di parkiran sekolah.
“Emm, mobil disita tanteku, aku disuruh naik angkot ke sekolah mulai sekarang,” kata Dira ragu-ragu takut Mita akan kecewa.
“Apa? Naik angkot? Gak banget deh, aku mau pulang bareng Rio aja,” teriak Mita terkejut kemudian meninggalkan Dira yang tertunduk sedih.
Tiba-tiba sebuah motor melaju kencang ke arah Mita yang sedang berjalan agak ke tengah, melihat itu Dira berlari menghampiri Mita dan dengan cepat mendorong Mita ke pinggir. Mita berhasil diselamatkan akan tetapi Dira yang tertabrak motor itu hingga tak sadarkan diri. Kepala Dira terbentur bebatuan, mata dan beberapa bagian tubuh Dira mengeluarkan banyak darah.
“Dira… Kamu kenapa? Apa yang terjadi?” Dina meneriakkan nama Dira sambil menangis melihat kondisi orang yang disayanginya bersimbah darah.
Melihat kerumunan banyak orang, Mita segera berlari dan masuk ke dalam taksi, dia takut jika disalahkan atas kecelakaan tersebut.
***
Setelah dua minggu, Dira baru bisa pulang dari rumah sakit. Luka-lukaya sudah sembuh namun ia harus mengalami kebutaan akibat matanya terluka saat kecelakaan itu. Tidak sampai disitu, penderitaan Dira makin bertambah saat dirinya diusir dari rumahnya sendiri oleh tantenya yang jahat. Adik kandung maminya itu ingin menguasai kekayaan yang seharusnya jadi milik Dira. Apalah daya yang bisa dilakukan seorang Dira, dia tak bisa menang melawan tantenya. Dan kini pun, Dina sudah tak lagi bekerja di rumah Dira karena dipecat sang tante yang tak memiliki rasa kasih sayang pada keponakan sendiri.
Atas permintaan Dina maka sekarang Dira tinggal di rumah bibi Dina. Dira tak lagi masuk sekolah karena dengan kondisinya yang buta tidak memungkinkan untuk belajar secara normal seperti dulu.
“Dina, tolong temui Mita hari ini dan bilang padanya kalau aku rindu padanya dan ingin bertemu,” mohon Dira pada Dina yang telah siap untuk berangkat sekolah.
“Iya Dira, akan aku sampaikan. Aku pergi sekolah dulu ya,” ujar Dina yang kemudian menyalami tangan bibinya untuk berpamitan.
“Hati-hati di jalan ya sayang!” pesan bibi pada Dina.
Sebelum keluar pagar, Dina menoleh ke belakang dan memandangi sosok Dira yang sangat berbeda dari Dira yang dulu. Sosok yang memancarkan penderitaan mendalam. Dina sangat ingin menolong Dira, tapi dia belum tahu bagaimana caranya.
“Dira itu buta dan sudah miskin sekarang. Tentu dia tak akan bisa buatku bahagia lagi. Kalau elo mau, ambil aja. Bukannya elo suka sama Dira kan?” cerca Mita setelah Dina menjelaskan dan menyampaikan pesan Dira tadi.
“Kamu tega banget, Mit. Dira buta itu karena menolongmu. Aku mohon sekali saja kamu temui Dira, kasihan dia,” ujar Dina menahan air matanya yang ingin keluar.
Bukannya memperhatikan perkataan Dina, Mita malah berlalu menghampiri Rio yang sekarang jadi pacarnya, pengganti Dira.
***
Hari ini hari yang ditunggu-tunggu Dira, perban matanya akan dibuka. Bibi Dina yang mendampingi Dira ikut merasa tegang menunggu hasil operasi mata Dira.
“Mataku bisa melihat lagi, Bi. Aku bisa melihat lagi, aku bisa melihat lagi!” teriak Dira bahagia.
Bibi memeluk Dira sambil menangis terharu. Operasi itu berhasil dengan sukses. Tidak sia-sia Dira dan bibi Dina berangkat menuju rumah sakit di Singapura untuk melakukan operasi.
“Oh ya, Dina gak ikut ke sini ya, Bi?” tanya Dira tiba-tiba yang menyadari tidak adanya kehadiran Dina bersama mereka.
Bibi mengangguk dan menjawab, “Dina gak ikut karena dia sekolah, Dira. Kita segera pulang sore ini saja ya, kasihan Dina sendirian.”
***
Bibi melihat Dina sedang tidur di kamar, yang mengherankan karena wajah Dina terlihat pucat dan badannya lemah. Seakan ada pohon besar yang menimpanya, bibi Dina menangis dan merasakan kesedihan yang tak terlukiskan membaca selembar kertas tentang pendonoran ginjal dan nama pendonor adalah Dina Prameswara Putri. Apa yang telah dilakukan Dina ini sama sekali tak diketahui oleh dirinya.
“Sayang, coba jelaskan pada bibi apa arti dari semua ini!” kata bibi pada Dina yang sudah terjaga dari tidurnya.
“Maafkan Dina, Bi. Dina gak cerita ke bibi terlebih dahulu. Dina mendonorkan ginjal kanan Dina pada seseorang dan dia menggantinya dengan uang yang Dina berikan pada bibi untuk operasi mata Dira. Dina bukan meminjam uang itu seperti yang Dina bilang pada bibi sebelumnya, maafkan Dina telah berbohong,”
Bibi Dina langsung memeluk keponakannya itu. Dia tak menyangka Dina memiliki hati seputih kapas, rela berkorban apa pun demi Dira yang disayanginya. Tiba-tiba pintu kamar Dina terbuka dan muncul Dira yang langsung memeluk Dina. Dina terkejut dan merasakan badannya gemetar dalam pelukan Dira.
“Aku tak tahu lagi harus berterima kasih seperti apa padamu, Din. Kamu terlalu baik padaku sampai-sampai merelakan ginjalmu untuk membiayai operasi mataku. Selama ini aku telah salah menilaimu. Maafkan aku Dina, kesalahanku sudah terlalu banyak padamu. Harusnya dari dulu aku sadar bahwa kamulah wanita yang benar-benar mencintaiku. Sekarang aku telah merasakan jika aku pun bisa mencintaimu, Dina.” kata Dira tanpa melepas pelukannya.
Dina tersenyum. Dia merasakan rasa tenang dan nyaman saat ini. “Andai saja bisa, akan ku hentikan waktu saat ini agar aku selalu berada dalam pelukanmu, Dira,” ujarnya dalam hati.
PROFIL PENULIS
Nama : Murni Oktarina
TTL : Palembang, 27 Oktober 1990
Facebook : http://www.facebook.com/murni.dudidam
Twitter : https://twitter.com/#!/Murni_dudidam
Hobi : Membaca dan Menulis
TTL : Palembang, 27 Oktober 1990
Facebook : http://www.facebook.com/murni.dudidam
Twitter : https://twitter.com/#!/Murni_dudidam
Hobi : Membaca dan Menulis
0 Komentar:
Komen disini ya :)