Kau, Aku dan Dia
Karya : Aya Emsa
Adakah yang percaya bahwa sepasang sahabat pria dan wanita bisa menyayangi dengan tulus dan tidak berharap saling memiliki? Aku percaya. Dan itulah kami berdua.
“Kalau aku suka sama kamu gimana, Nay?” Sahabatku yang mengatakannya. Saat itu kami sedang berada di pinggir jembatan. Menikmati gemerlap langit malam yang dihiasi puluhan petasan cina hari raya, berwarna-warni. Sedang bedug dan takbir bertalu-talu di seantero kota. Seriuskah yang dia katakan? Ahahhaayy… dia sedang bercanda. Mimiknya usil sekali.
“Aku juga suka sama kamu,” jawabku santai sambil mengerlingkan mata. Seriuskah aku? Em.. tidak juga. Beginilah kami berkomunikasi. Sering mengungkapkan perasaan yang kami sendiri ragu-ragu.
“Kalau aku suka sama kamu gimana, Nay?” Sahabatku yang mengatakannya. Saat itu kami sedang berada di pinggir jembatan. Menikmati gemerlap langit malam yang dihiasi puluhan petasan cina hari raya, berwarna-warni. Sedang bedug dan takbir bertalu-talu di seantero kota. Seriuskah yang dia katakan? Ahahhaayy… dia sedang bercanda. Mimiknya usil sekali.
“Aku juga suka sama kamu,” jawabku santai sambil mengerlingkan mata. Seriuskah aku? Em.. tidak juga. Beginilah kami berkomunikasi. Sering mengungkapkan perasaan yang kami sendiri ragu-ragu.
Sebenarnya serius atau tidak, main-main atau tidak. Kadangkala memang serius, dan di kala lain hanya bercanda. Sampai kami sendiri tidak bisa memisahkan, mana yang serius dan mana yang bercanda. Hubungan yang aneh. Begitu kata seorang temanku. Namun bagiku? Tidak juga. Kami ini sahabat, tidak ada yang aneh kan dengan persahabatan?
Namanya Zen. Kami bersahabat sejak 3 tahun yang lalu. Belum terlalu lama memang, karena setahuku banyak pasangan sahabat yang umur persahabatannya sudah lewat belasan tahun. Dan itu bukan masalah bagi kami. Yang penting kami saling berbagi dan saling jujur mengenai apapun. Terutama asmara.
Hari itu Zen menemuiku, wajahnya agak bingung. “Nay, kemaren aku habis ditembak.” Katanya seraya menarik satu kursi perpustakaan dan duduk di hadapanku. Zen sering bercerita kalau dia habis ditembak cewek. Heran, kenapa pula cewek-cewek itu yang nembak dia? Ganteng juga ngga’ tuh dia. Biasaaa ajaaa…
“Oh ya? Siapakah kali ini?” tanyaku jenaka. Aku mengalihkan perhatian dari bacaanku. Mendengar kisah cinta Zen selalu lebih menarik daripada buku bacaan apapun. Bahkan novel best seller sekalipun.
“Adik kos kamu.”
Aku mengernyitkan kening. Aku punya sekitar satu lusin adik kos, dan untuk menemukan satu dari mereka yang sedang dimaksud Zen itu bukan hal yang mudah. Karena malas menebak satu-satu sampai Zen bilang iya, aku langsung mengajukan pertanyaan, “Siapa?”
“Yang kemarin aku temui waktu kamu ga ada,” Zen ini, biasanya langsung memberitahu, kenapa pula sekarang musti berbelit-belit dan mengajakku tebak-tebakan. Nah kali ini? Kenapa dia tidak bilang langsung saja? Tapi tidak ada gunanya mendebat Zen. Jadi kuputuskan untuk mengingat, siapa dari mereka yang bertemu Zen karena saat mencariku, aku tidak ada. Memoriku menangkap satu nama, “Sinta?”. Sahabatku mengangguk.
“Olalalaaa… Haha, mantap. Radar kamu cerdas ya, yang ditangkap yang model Sintaaa…” godaku. Zen malah mengkerucut. “Jangan bercanda Nay, aku bingung nih…”
“Lah, kok malah bingung? Capcus komandaaann! She’s good!” kataku berbinar memberi semangat. Agaknya terasa sesuatu yang lain dalam hatiku. Halus tapi mencubit-cubit. Namun sesuatu itu aku abaikan.
“Aku nggak enak sama dia..” lanjutnya masih selemas tadi. “Dan aku belum mengiyakan tapi juga belum menolak, biar waktu yang menjawab..” jelasnya. Entah kenapa aku begitu tidak peka. Lebih tepatnya tidak tahu kalau jawaban seperti yang dikatakan Zen itu adalah harapan menggantung bagi adikku Sinta, yang notabene aku tidak pernah menyangka akan kesemsem sama Zen dan sampai mengungkapkan perasaannya lebih dulu. Sinta itu kalem dan tidak aneh-aneh, kupikir dia cukup pemalu untuk masalah beginian. Jadi setelah sepotong kisah Zen itu, aku bahkan nyaris tidak pernah menanyakan hubungannya dan Sinta. Lupa dan tidak peduli. Mana tahu ternyata ada kelanjutan dari roman itu kemudian hari.
“Oh ya? Siapakah kali ini?” tanyaku jenaka. Aku mengalihkan perhatian dari bacaanku. Mendengar kisah cinta Zen selalu lebih menarik daripada buku bacaan apapun. Bahkan novel best seller sekalipun.
“Adik kos kamu.”
Aku mengernyitkan kening. Aku punya sekitar satu lusin adik kos, dan untuk menemukan satu dari mereka yang sedang dimaksud Zen itu bukan hal yang mudah. Karena malas menebak satu-satu sampai Zen bilang iya, aku langsung mengajukan pertanyaan, “Siapa?”
“Yang kemarin aku temui waktu kamu ga ada,” Zen ini, biasanya langsung memberitahu, kenapa pula sekarang musti berbelit-belit dan mengajakku tebak-tebakan. Nah kali ini? Kenapa dia tidak bilang langsung saja? Tapi tidak ada gunanya mendebat Zen. Jadi kuputuskan untuk mengingat, siapa dari mereka yang bertemu Zen karena saat mencariku, aku tidak ada. Memoriku menangkap satu nama, “Sinta?”. Sahabatku mengangguk.
“Olalalaaa… Haha, mantap. Radar kamu cerdas ya, yang ditangkap yang model Sintaaa…” godaku. Zen malah mengkerucut. “Jangan bercanda Nay, aku bingung nih…”
“Lah, kok malah bingung? Capcus komandaaann! She’s good!” kataku berbinar memberi semangat. Agaknya terasa sesuatu yang lain dalam hatiku. Halus tapi mencubit-cubit. Namun sesuatu itu aku abaikan.
“Aku nggak enak sama dia..” lanjutnya masih selemas tadi. “Dan aku belum mengiyakan tapi juga belum menolak, biar waktu yang menjawab..” jelasnya. Entah kenapa aku begitu tidak peka. Lebih tepatnya tidak tahu kalau jawaban seperti yang dikatakan Zen itu adalah harapan menggantung bagi adikku Sinta, yang notabene aku tidak pernah menyangka akan kesemsem sama Zen dan sampai mengungkapkan perasaannya lebih dulu. Sinta itu kalem dan tidak aneh-aneh, kupikir dia cukup pemalu untuk masalah beginian. Jadi setelah sepotong kisah Zen itu, aku bahkan nyaris tidak pernah menanyakan hubungannya dan Sinta. Lupa dan tidak peduli. Mana tahu ternyata ada kelanjutan dari roman itu kemudian hari.
Jika kami sama-sama sedang tidak ada jam kuliah, biasanya kami duduk-duduk di bawah pohon jambu merah di tepi bendungan yang lokasinya tidak jauh dari kampus. Di sana sejuk, angin semilir tanpa polusi, pemandangan wajah air yang bergelombang kecil, gemericik air bendungan, mengalunkan irama alam yang merdu. Kalau rejeki kadang ada buah jambu masak pohon yang manis jatuh menimpa kepala. Lokasi ini cocok sekali untuk mengerjakan tugas dan membaca buku. Dan di sanalah aku dan Zen sekarang, menseriusi sebuah buku teori Kapitalisme Adam Smith sebagai materi ujian minggu depan.
Satu pesan singkat mampir di ponselku. Aku menjawabnya lantas mendesis kesal. Zen yang menyadari itu menoleh, “Kenapa Nay?”
Wajahku masam. “Ini nih, Fahdi, masa dia bilang mau ngiyain orang yang ngegosip kalo aku pacarnya dia? Ogah deh!” semburku. Aku bersungut-sungut kesal. Zen malah tertawa.
“Kalau digosipin sama aku mau?” Zen menggoda.
“Emang kamu suka sama aku? Enggak kan, dear…” Sanggahku sambil tertawa kaku yang dipaksakan, aku sedang tidak mood untuk bercanda sekarang. Pertama karena sms Fahdi yang bikin ‘gerah’ dan kedua karena aku kesal konsentrasi bacaku pecah. Ada jeda sesaat.
“Kalau iya gimana?” Zen tidak cengingisan kali ini. Tapi seperti biasa, aku tetap tidak tahu dia serius atau tidak. Aku tidak langsung menjawab. Sekali lagi aku memberikan jeda dalam percakapan selama satu-dua menit. Aku menarik napas.
Beberapa hari terakhir cubitan-cubitan lembut dalam hatiku mengusik kedekatan kami. Aku tidak sungguh tahu itu punya makna khusus atau tidak mengenai kami.
“Kalau iya, aku juga suka kamu kayak kamu suka aku.” Upss! Kelepasan sudah.
“Makasih, Nay..” lanjut Zen. Tampak serius. “Sama-sama, Zen,” lanjutku sambil nyengir kuda – tapi Zen tidak melihatnya. Aneh saja menyaksikan adegan semi serius dan Zen dengan tampang begitu, tidak biasa.
“Tapi untuk saat ini, aku nggak bisa jadi pacar kamu,” lanjutnya. Aku sontak terkejut dan tertawa. Apa-apaan anak ini? Memangnya aku mau bikin dia dan Irene – pacarnya – putus? Lagipula aku juga tidak sedang bersungguh-sungguh.
“Hyaaahhh… Hahahhaa… Siapa pula yang mau jadi pacar kamu, ndorooo…” kami tertawa bersama. Ditemani oleh buah-buah jambu yang meranum di pohon. Dalam hati aku berdo’a semoga satu – dua atau banyak dari buah yang bergelantungan di tangkainya itu jatuh dan memberi kami kebahagiaan tambahan.
Satu pesan singkat mampir di ponselku. Aku menjawabnya lantas mendesis kesal. Zen yang menyadari itu menoleh, “Kenapa Nay?”
Wajahku masam. “Ini nih, Fahdi, masa dia bilang mau ngiyain orang yang ngegosip kalo aku pacarnya dia? Ogah deh!” semburku. Aku bersungut-sungut kesal. Zen malah tertawa.
“Kalau digosipin sama aku mau?” Zen menggoda.
“Emang kamu suka sama aku? Enggak kan, dear…” Sanggahku sambil tertawa kaku yang dipaksakan, aku sedang tidak mood untuk bercanda sekarang. Pertama karena sms Fahdi yang bikin ‘gerah’ dan kedua karena aku kesal konsentrasi bacaku pecah. Ada jeda sesaat.
“Kalau iya gimana?” Zen tidak cengingisan kali ini. Tapi seperti biasa, aku tetap tidak tahu dia serius atau tidak. Aku tidak langsung menjawab. Sekali lagi aku memberikan jeda dalam percakapan selama satu-dua menit. Aku menarik napas.
Beberapa hari terakhir cubitan-cubitan lembut dalam hatiku mengusik kedekatan kami. Aku tidak sungguh tahu itu punya makna khusus atau tidak mengenai kami.
“Kalau iya, aku juga suka kamu kayak kamu suka aku.” Upss! Kelepasan sudah.
“Makasih, Nay..” lanjut Zen. Tampak serius. “Sama-sama, Zen,” lanjutku sambil nyengir kuda – tapi Zen tidak melihatnya. Aneh saja menyaksikan adegan semi serius dan Zen dengan tampang begitu, tidak biasa.
“Tapi untuk saat ini, aku nggak bisa jadi pacar kamu,” lanjutnya. Aku sontak terkejut dan tertawa. Apa-apaan anak ini? Memangnya aku mau bikin dia dan Irene – pacarnya – putus? Lagipula aku juga tidak sedang bersungguh-sungguh.
“Hyaaahhh… Hahahhaa… Siapa pula yang mau jadi pacar kamu, ndorooo…” kami tertawa bersama. Ditemani oleh buah-buah jambu yang meranum di pohon. Dalam hati aku berdo’a semoga satu – dua atau banyak dari buah yang bergelantungan di tangkainya itu jatuh dan memberi kami kebahagiaan tambahan.
Hari-hari kami berlalu seperti sediakala. Sekali lagi pernyataan beberapa hari lalu tidak mempengaruhi apapun. Hanya saja, komunikasi kami jadi lebih intens setelah itu, bahkan satu – dua teman menduga kami sudah tidak lagi sebatas sahabat, ada juga yang bilang kami ini TTM (Teman Tapi Mesra) dan mungkin malah TTS (Teman Tapi Sayang). Hakikatnya ya sama saja, kami hanya sepasang sahabat.
Meskipun demikian, tidak bisa aku pungkiri bahwa hatiku lambat laun menanamkan cinta untuk Zen. Dan tanpa disadari dia pun begitu. Perasaan manis mengalir begitu saja, sangat alami sampai kami terbawa arus ini dan secara halus menodai makna persahabatan yang kami jalin. Kami memang tetap sahabat, tapi seringkali kami mengandaikan hidup bersama. Bahkan saat kesekian kalinya Zen berkunjung ke rumahku, keluargaku malah mendukung aku dan dia – padahal sudah kukatakan kami hanya sahabat. Mereka bilang, “Sudah… dengan Zen saja, nggak usah cari yang lain…” Olalalaaa… kacau kan ini? Pertahananku jebol sudah. Aku jatuh cinta pada Zen. Kulupakan semua kriteria yang pernah kusyaratkan bagi pangeranku, hatiku mulai memposisikan Zen dengan segala lebih dan kurangnya sebagai seseorang yang penting, yang akan aku temani sepanjang hidupku. Tapi Tuhan tidak setuju, sahabat hanya sahabat, cukuplah saja menjadi sahabat. Maka kesalahanku ini dihentikan-Nya satu tahun kemudian.
Meskipun demikian, tidak bisa aku pungkiri bahwa hatiku lambat laun menanamkan cinta untuk Zen. Dan tanpa disadari dia pun begitu. Perasaan manis mengalir begitu saja, sangat alami sampai kami terbawa arus ini dan secara halus menodai makna persahabatan yang kami jalin. Kami memang tetap sahabat, tapi seringkali kami mengandaikan hidup bersama. Bahkan saat kesekian kalinya Zen berkunjung ke rumahku, keluargaku malah mendukung aku dan dia – padahal sudah kukatakan kami hanya sahabat. Mereka bilang, “Sudah… dengan Zen saja, nggak usah cari yang lain…” Olalalaaa… kacau kan ini? Pertahananku jebol sudah. Aku jatuh cinta pada Zen. Kulupakan semua kriteria yang pernah kusyaratkan bagi pangeranku, hatiku mulai memposisikan Zen dengan segala lebih dan kurangnya sebagai seseorang yang penting, yang akan aku temani sepanjang hidupku. Tapi Tuhan tidak setuju, sahabat hanya sahabat, cukuplah saja menjadi sahabat. Maka kesalahanku ini dihentikan-Nya satu tahun kemudian.
Satu Tahun Kemudian
Ada yang berbeda dengan Zen. Dan sebagai sahabat dan orang terdekat Zen saat ini, aku sudah jelas menyadari hal itu. Bukan satu – dua hari kami berteman. Aku jelas bisa membedakan, kapan dia menyembunyikan sesuatu dan kapan tidak. Dan kukira sekarang dia sedang melakukannya. Tapi Zen diam saja menanggapi komentarku tentang sikapnya akhir-akhir ini. Bahkan saat aku mulai menanyakan hal tersebut, dia tetap bungkam. Padahal, saat dia ditembak Irene dan mulai pacaran sampai saat dia putus dengannya pun, Zen menceritakannya padaku. Kenapa kali ini tidak? Apa yang salah denganku? Dengan dia?
Ada yang berbeda dengan Zen. Dan sebagai sahabat dan orang terdekat Zen saat ini, aku sudah jelas menyadari hal itu. Bukan satu – dua hari kami berteman. Aku jelas bisa membedakan, kapan dia menyembunyikan sesuatu dan kapan tidak. Dan kukira sekarang dia sedang melakukannya. Tapi Zen diam saja menanggapi komentarku tentang sikapnya akhir-akhir ini. Bahkan saat aku mulai menanyakan hal tersebut, dia tetap bungkam. Padahal, saat dia ditembak Irene dan mulai pacaran sampai saat dia putus dengannya pun, Zen menceritakannya padaku. Kenapa kali ini tidak? Apa yang salah denganku? Dengan dia?
“Nay, Zen pacaran sama Sinta ya? Aku lihat mereka jalan kemarin.”
“Zen ada apa sama Sinta?”
“Sejak kapan Sinta jadian sama Zen, Nay?”
“Kok Zen sekarang nyarinya Sinta?”
“Nay, sahabat kamu kok nitip sesuatu buat Sinta ke aku?”
Jawaban dari semua pertanyaan itu adalah aku tidak tahu. Zen tidak memberitahu. Dan dia tidak pernah seperti ini, dia selalu menceritakan segala sesuatu yang terjadi padaku. Namun sekarang, setiap aku bertanya Zen hanya berkata; “nanti aku pasti cerita”. Ada yang salah dengannya. Apa jangan-jangan dia sedang jatuh cinta? Sampai tidak ingin aku tahu lebih dulu? Tapi kenapa dia tidak mau aku tahu? Bukannya selama ini aku selalu tahu? Cubitan di hatiku menusuk-nusuk. Apakah aku sudah tidak dianggap sahabat lagi?
“Zen ada apa sama Sinta?”
“Sejak kapan Sinta jadian sama Zen, Nay?”
“Kok Zen sekarang nyarinya Sinta?”
“Nay, sahabat kamu kok nitip sesuatu buat Sinta ke aku?”
Jawaban dari semua pertanyaan itu adalah aku tidak tahu. Zen tidak memberitahu. Dan dia tidak pernah seperti ini, dia selalu menceritakan segala sesuatu yang terjadi padaku. Namun sekarang, setiap aku bertanya Zen hanya berkata; “nanti aku pasti cerita”. Ada yang salah dengannya. Apa jangan-jangan dia sedang jatuh cinta? Sampai tidak ingin aku tahu lebih dulu? Tapi kenapa dia tidak mau aku tahu? Bukannya selama ini aku selalu tahu? Cubitan di hatiku menusuk-nusuk. Apakah aku sudah tidak dianggap sahabat lagi?
Saat teman-temanku terus bertanya padaku, aku dia biarkan tidak tahu apa-apa dan bertanya-tanya. Terus terang aku kecewa, aku kesal dan marah. Jika memang benar Zen jatuh hati pada Sinta, dia bahkan tidak perlu diam-diam. Harusnya dia mengatakannya padaku dan akupun tidak akan melarang atau menyalahkannya. Meskipun aku memang akan patah hati. Zen harusnya sadar, sebesar apapun perasaan kami, aku dan dia hanya sahabat. Sama sekali tidak ada ikatan lain yang mengharuskan kami untuk tidak lagi jatuh cinta. Aku marah bukan karena dia mencintai Sinta, tapi karena dia tidak jujur padaku dan menganggap aku mungkin akan sangat terluka dan rapuh oleh cinta. Lupakah dia bahwa aku bukan tipe gadis yang seperti itu? Hatiku perih. Seolah ada benda tajam yang disayat-sayatkan di sana.
Saat akhirnya aku bertemu dia di halaman kampus, aku membawanya paksa ke bendungan.
“Sekarang ceritakan Zen, ada apa antara kamu sama Sinta!”
Zen menunduk, diam saja. Dia terlihat enggan bicara.
“Zen, kamu ngga’ bisa diam terus begini. Jelaskan padaku! Semua orang nanyanya ke aku dan kamu biarkan aku ngga’ tahu apa-apa. Tega ya kamu!” lanjutku marah-marah.
“Ok.” Katanya. “Kamu tanya apa, aku jawab sebisaku.”
“Kamu jatuh cinta sama Sinta?” pertanyaan pertama. Zen hanya menjawab pendek. “Iya.”
“Kalau begitu ceritakan!” Titahku. Agak lama Zen terdiam, lalu akhirnya dia buka suara.
“Aku sayang padamu, Nay. Bukan lagi sebatas sahabat, lebih daripada itu…” katanya mengawali ceritanya. Aku menarik napas, dalam hati aku menjawab, “Ya, aku tahu. Dan aku juga begitu…”
Zen menarik napas pendek. Kemudian dia melanjutkan, “Tapi entah kenapa rasa itu juga muncul saat aku bersama Sinta, saat-saat itu dia sedang rapuh. Saat-saat ujian dan penerimaan mahasiswa baru di kampus kita… tapi jangan artikan ini sebagai rasa kasihan, Nay.. Dia butuh seseorang yang bisa jadi motivator, dukung dia, dengerin semua curhat dia dan semua beban dia. Mungkin dari situ, akhirnya…”
Hatiku ngilu mendengarnya. Aku mengangguk-angguk ringan, paham betul dengan cerita Zen. Seperti ini ternyata rasanya dihianati oleh orang yang paling kamu percaya. Kukira Zen tidak akan menutupi apapun dariku, tapi ternyata dia juga manusia, yang sejujur-jujurnya dia pada orang lain pasti masih menyembunyikan sesuatu dalam hatinya.
“Maafkan aku, Nay…” lanjutnya.
Aku mencoba mencairkan suasana, aku tertawa untuk mencegah air mataku agar tidak tumpah. “Ternyata hanya masalah itu? Zen, Zen… Itu bukan sesuatu yang harus kamu sembunyiin dari aku kan? Masalah sepele begitu aja kok ga bilang sih? Aku juga ga akan ngelarang kamu buat pacaran sama siapa aja…” jelasku. Aku tersenyum padanya.
“Ini bukan hal sepele bagiku, Nay… Bukan. Ini berbeda dengan kemarin-kemarin saat aku bisa dengan mudah menceritakannya padamu. Aku juga menata hati, karena aku benar-benar pernah sayang sama kamu..” Pemuda itu menyanggah kata-kataku, menjelaskan. Mimik Zen serius sekali. Mataku panas, hatiku nyeri.
Aku menunduk. Menarik napas. “Tapi kamu tahu kita hanya sahabat. Kamu tahu aku akan marah jika kamu tidak bilang, kamu tahu aku tidak akan mencintaimu jika aku tahu kamu punya orang lain di hatimu, kamu tahu aku tidak akan melarang kamu jatuh cinta, kamu tahu aku tidak akan terpuruk jika kamu memilih orang lain, kamu tahu aku, bahkan kadang lebih tahu dari diriku sendiri…” Aku berhenti bicara, menahan emosiku. Napasku tersengal-sengal. Air mataku sebentar lagi tumpah. Bendunganku sudah tidak kuasa.
“Hadap kanan Zen!” titahku serak. Agak bingung Zen menurut. Lalu aku menangis tanpa suara dibalik punggungnya. Tubuhku terguncang. Lirih Zen memanggil namaku. Tapi kuacuhkan. Aku membiarkan semua perasaan turun lewat airmata yang sudah membanjir di pipi.
“Sekarang ceritakan Zen, ada apa antara kamu sama Sinta!”
Zen menunduk, diam saja. Dia terlihat enggan bicara.
“Zen, kamu ngga’ bisa diam terus begini. Jelaskan padaku! Semua orang nanyanya ke aku dan kamu biarkan aku ngga’ tahu apa-apa. Tega ya kamu!” lanjutku marah-marah.
“Ok.” Katanya. “Kamu tanya apa, aku jawab sebisaku.”
“Kamu jatuh cinta sama Sinta?” pertanyaan pertama. Zen hanya menjawab pendek. “Iya.”
“Kalau begitu ceritakan!” Titahku. Agak lama Zen terdiam, lalu akhirnya dia buka suara.
“Aku sayang padamu, Nay. Bukan lagi sebatas sahabat, lebih daripada itu…” katanya mengawali ceritanya. Aku menarik napas, dalam hati aku menjawab, “Ya, aku tahu. Dan aku juga begitu…”
Zen menarik napas pendek. Kemudian dia melanjutkan, “Tapi entah kenapa rasa itu juga muncul saat aku bersama Sinta, saat-saat itu dia sedang rapuh. Saat-saat ujian dan penerimaan mahasiswa baru di kampus kita… tapi jangan artikan ini sebagai rasa kasihan, Nay.. Dia butuh seseorang yang bisa jadi motivator, dukung dia, dengerin semua curhat dia dan semua beban dia. Mungkin dari situ, akhirnya…”
Hatiku ngilu mendengarnya. Aku mengangguk-angguk ringan, paham betul dengan cerita Zen. Seperti ini ternyata rasanya dihianati oleh orang yang paling kamu percaya. Kukira Zen tidak akan menutupi apapun dariku, tapi ternyata dia juga manusia, yang sejujur-jujurnya dia pada orang lain pasti masih menyembunyikan sesuatu dalam hatinya.
“Maafkan aku, Nay…” lanjutnya.
Aku mencoba mencairkan suasana, aku tertawa untuk mencegah air mataku agar tidak tumpah. “Ternyata hanya masalah itu? Zen, Zen… Itu bukan sesuatu yang harus kamu sembunyiin dari aku kan? Masalah sepele begitu aja kok ga bilang sih? Aku juga ga akan ngelarang kamu buat pacaran sama siapa aja…” jelasku. Aku tersenyum padanya.
“Ini bukan hal sepele bagiku, Nay… Bukan. Ini berbeda dengan kemarin-kemarin saat aku bisa dengan mudah menceritakannya padamu. Aku juga menata hati, karena aku benar-benar pernah sayang sama kamu..” Pemuda itu menyanggah kata-kataku, menjelaskan. Mimik Zen serius sekali. Mataku panas, hatiku nyeri.
Aku menunduk. Menarik napas. “Tapi kamu tahu kita hanya sahabat. Kamu tahu aku akan marah jika kamu tidak bilang, kamu tahu aku tidak akan mencintaimu jika aku tahu kamu punya orang lain di hatimu, kamu tahu aku tidak akan melarang kamu jatuh cinta, kamu tahu aku tidak akan terpuruk jika kamu memilih orang lain, kamu tahu aku, bahkan kadang lebih tahu dari diriku sendiri…” Aku berhenti bicara, menahan emosiku. Napasku tersengal-sengal. Air mataku sebentar lagi tumpah. Bendunganku sudah tidak kuasa.
“Hadap kanan Zen!” titahku serak. Agak bingung Zen menurut. Lalu aku menangis tanpa suara dibalik punggungnya. Tubuhku terguncang. Lirih Zen memanggil namaku. Tapi kuacuhkan. Aku membiarkan semua perasaan turun lewat airmata yang sudah membanjir di pipi.
Setengah jam berlalu dalam diam. Terlalu banyak yang ingin aku tanyakan sampai aku tidak sanggup lagi bertanya. Biarlah saja, cukup semuanya menjadi rahasia.
“Nay… Maafkan aku…” lirihnya lagi, masih memunggungi aku. Aku mengangguk.
Aku menghapus airmataku, lalu aku tersenyum dipaksakan. Aku tidak boleh bersedih lama-lama. Kisah yang seperti ini memang kadang harus terjadi. Ini kan dunia, mana ada hidup yang lurus-lurus saja? Aku meluruskan dudukku menghadap bendungan.
“Nay… Maafkan aku…” lirihnya lagi, masih memunggungi aku. Aku mengangguk.
Aku menghapus airmataku, lalu aku tersenyum dipaksakan. Aku tidak boleh bersedih lama-lama. Kisah yang seperti ini memang kadang harus terjadi. Ini kan dunia, mana ada hidup yang lurus-lurus saja? Aku meluruskan dudukku menghadap bendungan.
Saat aku lebih tenang. Aku berkata, “Aku ikhlas kamu memilih Sinta, Zen.. Sudah kukatakan dari dulu kan? Kamu nggak usah ragu buat milih Sinta.”
“Nay… Aku bener-bener minta maaf. Kamu boleh marah dan benci padaku..”
Aku tertawa.
“Alaaayyy… Hahahha… Sudahlah. Kita memang ditakdirkan sahabatan saja.” Kataku sambil memukul kepala Zen dengan buku ekonomi hard cover dengan tebal 500 halaman yang kubawa. Zen mengaduh, “Sakit tahu!”
Kami tertawa. Walaupun luka yang dia torehkan di hatiku mungkin tidak akan sembuh selamanya, tapi kami tidak boleh saling membenci hanya karena urusan cinta. Bukankah dengan begini persahabatan kami jadi kembali lagi seperti sediakala? Tidak lagi tercampuri oleh roman picisan. Masalah-masalah dalam persahabatan lumrah adanya dan memang harus ada. Untuk menguji dan menjadi bumbu kebersamaan. Dengan begitu kami bisa membuktikan bahwa persahabatan kami kokoh dan tahan ujian.
“Em… aku punya satu nasehat buat kamu,” kataku padanya.
“Apa?” Zen mengernyitkan kening. Wajahnya penasaran.
“Cintailah sahabatmu jika di muka bumi ini tidak ada lagi yang bisa kamu cintai dan mencintaimu selain dia..”
Angin bendungan masih semilir menemani kami. Buah-buah jambu air yang kemerahan juga masih bergoyang menggoda, meranum di tangkainya. Dan hatiku saat ini, semerah jambu-jambu itu. Bahagia oleh persahabatan dan rasa sayang tulus yang kami miliki.
“Nay… Aku bener-bener minta maaf. Kamu boleh marah dan benci padaku..”
Aku tertawa.
“Alaaayyy… Hahahha… Sudahlah. Kita memang ditakdirkan sahabatan saja.” Kataku sambil memukul kepala Zen dengan buku ekonomi hard cover dengan tebal 500 halaman yang kubawa. Zen mengaduh, “Sakit tahu!”
Kami tertawa. Walaupun luka yang dia torehkan di hatiku mungkin tidak akan sembuh selamanya, tapi kami tidak boleh saling membenci hanya karena urusan cinta. Bukankah dengan begini persahabatan kami jadi kembali lagi seperti sediakala? Tidak lagi tercampuri oleh roman picisan. Masalah-masalah dalam persahabatan lumrah adanya dan memang harus ada. Untuk menguji dan menjadi bumbu kebersamaan. Dengan begitu kami bisa membuktikan bahwa persahabatan kami kokoh dan tahan ujian.
“Em… aku punya satu nasehat buat kamu,” kataku padanya.
“Apa?” Zen mengernyitkan kening. Wajahnya penasaran.
“Cintailah sahabatmu jika di muka bumi ini tidak ada lagi yang bisa kamu cintai dan mencintaimu selain dia..”
Angin bendungan masih semilir menemani kami. Buah-buah jambu air yang kemerahan juga masih bergoyang menggoda, meranum di tangkainya. Dan hatiku saat ini, semerah jambu-jambu itu. Bahagia oleh persahabatan dan rasa sayang tulus yang kami miliki.
Hatiku berbisik. Zen, zen… Aku menyayangimu dengan tulus, aku tidak perlu balasan dan tidak perlu juga memiliki kamu. Dan selamanya akan selalu begitu.
SEKIAN
Cerpen Karangan: Aya Emsa
Blog: Butirbutirembun
Facebook: anindya Aryu Emsa
Blog: Butirbutirembun
Facebook: anindya Aryu Emsa
0 Komentar:
Komen disini ya :)