Cerita Istimewa " Deru Putih Abu - Abu "


Sahabat lebih dikenal sebagai teman sejati yang bisa saling memahami satu sama lain. Ketika mempunyai sahabat, seseoranh seolah-olah mendapatkan semangat baru yang membuatnya tabah dan sabar menjalani cobaan hidup. Sahabat bisa jadi tempat segudang nasehat, tempat canda dan tawa, bahkan sampai pelampiasan hatipun menjadi peranannya.


Berderet bangunan dua lantai berwarna cokelat muda tersusun rapi dengan bermacam ruangan yang mempunyai peranan berbeda. Ia menjadi saksi bisu akan semua hal tersebut. Serempak suara tak berirama yang menghiasi sekelilingnya, menjadi cirri khas tersendiri baginya.

Sebuah papan tulis putih dengan berbagai goresan menjadi pusat perhatianku. Berusaha kucerna semua ilmu yang tertuang lewat perantara tinta hitam. Sekilas, ada yang melintas di benakku. Tak pernah gagal mengalihkan perhatianku dari sang papan putih.


Dialah sesosok gadis putih berseri dengan rambut hitam melambai. Setiap kali aku memandanginya, aku sadar bahwa ada seseorang yang lebih pantas untuknya. Dialah sahabatku.


Seringkali kudengar si gadis menuangkan isi hatinya, namun tak jarang juga kudengar tangis dikarenakan jawaban pahit yang terlontar dari mulut sahabatku. Kadangkala aku merasa tak nyaman akan hal tersebut.


Mentari tak memancarkan seratus persen sinarnya. Terhalang sekumpulan awan kelabu di langit. Kulewati pintu begitu saja sesaat bel tanda istirahat berbunyi. Aku berjalan, dengan kantin yang menjadi  tujuan. Berdampingan dengan sahabatku, Paul. Sosok tinggi berbadan tegap dengan rambut panjang terkesan rapi. Sejenak, ingin kuluapkan segala keingintahuanku padanya. Namun keberanian rupanya belum berpihak kepadaku. Selain itu, alasan aku mengurungkan niat tidak lain tidak bukan adalah untuk menjaga persahabatan kami.


Disaat menaiki tangga menuju lantai dua dimana kelas kami berada, secara tiba-tiba gadis putih berseri bernama Rachel sudah berada tepat didepan mata. Sejenak aku tertegun dan menghadapkan pandangan ke lantai. “Aku duluan ya, Paul.” Bergegas kuperpanjang langkah menuju kelas dengan perasaan gundah. Selang beberapa menit, kekhawatiranku terbukti. Kata-kata yang tak diharapkan Rachelpun akhirnya terdengar. Ia menangis, kesedihan dan kekecewaan terlihat jelas di wajahnya.


Di sekolahku yang punya kegemaran berceloteh seperti mendapat jalan buat berkata seenaknya terhadap sahabatku. Tentu saja yang menjadi sumber adalah siswa yang memergoki kejadian tersebut. Kadang celoteh  yang sampai di telingaku begitu tajam sehingga aku hampir tak kuat menerimanya. “Cewek secantik Rachel apa ngga bisa cari cowok yang lebih keren dikit?. Apalagi si Paul, udah sok ganteng, sok laku, jual mahal segala lagi.”


Ketika aku belum memahami latar belakang sikap Paul, aku sering membujuk. Kenapa kau tidak mengatakan yang sebenarnya saja?. Dia kan cantik, baik, pintar. Apalagi yang kau harapkan?. Janganlah kau buang kesempatan dengan percuma. Hitung-hitung kita juga membahagiakan hati orang lain.


Karena kata-kataku inilah Paul tersinggung. Raut muka yang biasanya selalu ceria, mendadak berubah seketika. “Jadi, kau seperti anak-anak yang mengatakan aku jual mahal?.”


Aku menyesal. Tapi tak mengapa karena kemudian ia mengatakan alasan yang sebenarnya mengapa dia tidak mau menerima hati Rachel. Dan alasan itu tidak mungkin kukatakan kepada siapapun, khawatir hanya akan mengundang celoteh yang lebih menyakitkan. Aku tak rela sahabatku mendapat celaan lebih banyak.


Jadi, aku mengalah dengan keputusan Paul. Rela setiap kali harus membuat alasan untuk membelanya dan rela menerima celoteh anak-anak yang tiada hentinya.


Ketika Paul sakit, teman-teman satu kelas menjenguk ke rumah sakit. Kami semua tersenyum lega ketika mendengar jawaban dari mulutnya bahwa penyebabnya hanyalah maag kambuhan yang dideritanya.


Beberapa jam kemudian, teman-teman pulang. Hanya aku yang tersisa sambil mendekat kearahnya. Ingin rasanya kuucapkan sepenggal semangat melalui kata-kata. Sesaat aku membalikkan badan bersiap meninggalkan ruangan tempat sahabatku terbaring lesu. Dengan tanggap Paul segera memegang tanganku erat-erat seolah tak ingin aku keluar dari ruangan tersebut. “Sudahlah, dalam waktu dekat ini kau tidak usah repot-repot merangkaikan kalimat untukku. Dan kau juga bisa segera membuat seseorang itu bahagia.”


Astaga, tidak pernah sekalipun aku mendengar kata-kata Paul yang mengandung ironi demikian tajam. Sesalku tiada habisnya. Dan malu sebagai seorang sahabat, aku belum bisa memberikan solusi terbaik dalam permasalahannya. Lebih malu lagi karena ucapan Paul tadi adalah kata-kata terakhir yang ditujukan kepadaku.


Seratus hari sepeninggal sahabatku, aku bersama para sahabat bertahlil didalam rumah penuh duka dan penyesalan. Masih terngiang di telingaku serangkaian kata penuh makna yang terucap satu per satu dari mulutnya. Aku sebal dengan seorang anak yang tiba-tiba mengatakan sesuatu kepadaku. “Janganlah sia-siakan secuil peluang yang ada dalam hidupmu, kawan.”


Aku memang membenarkannya, tetapi aku merasa perkataan tersebut bermaksud kepada sahabatku. Aku dihantui rasa bersalah. Wajah Paul dan Rachel serasa terpapar didepan wajahku.


Linglung. Kudengar samar suara anak-anak saling membisikkan nama sahabatku. Tiba-tiba aku nyerocos. “Sahabatku mempunyai pegangan teguh untuk apa yang telah ia perbuat. Selain belum pernah sama sekali merasakan apa yang namanya cinta, dia mempunyai satu alasan yang lebih mulia. Yaitu ingin tetap menjaga kemuliaan dari seorang perempuan.” Aku mengungkapkan sebuah rahasia yang seharusnya tetap kupendam.


Aku sudah siap menerima celoteh apapun yang akan kudengar karena dulu sempat juga aku berpikir konyol tentang alasan antik tersebut. Aku merasa malu dan menghadapkan pandangan ke lantai. Namun, kenyataannya yang terjadi adalah aku yang hanya tertunduk diam diikuti dengan semua  jamaah tahlil.


Baru kuketahui penyebab dari meninggalnya Paul adalah penyakit kanker stadium empat yang sudah lama menggerogoti tuban

0 Komentar:

Komen disini ya :)